“Nak, ini punggung
ayam untukmu.”
Pemberian itu selalu ia terima
dengan senyum lebar di wajahnya. Hidup tidak lagi masygul.
Sang gadis pun beranjak dewasa,
waktu memaksanya mencari peruntungan ke ibukota. Aku mau mencari punggung ayam terenak di sini.
-
Suatu malam yang tidak istimewa, sang
gadis makan malam dengan koleganya.
“Santaplah, hidangan
spesial di restoran ini.”
Ayam panggang utuh tersedia di
meja. Sang gadis mengacungkan jari memberanikan diri, meminta apa yang ia cari.
“Boleh aku minta bagian
punggung?”
Para koleganya tertawa.
“Ada bagian dada,
paha juga sayap? Kamu malah minta bagian punggung?”
Sang gadis ikut tertawa, lebih renyah
dari kulit ayam panggangnya. Ia baru tau malam itu, ada bagian lain selain
punggung yang bisa dinikmati.
Entah kenapa, ia merasa kurang
bahagia.
-
Sepotong kisah yang kutulis di
atas pernah diceritakan oleh Dee Lestari dalam bukunya Rectoverso. Judulnya “Hanya
Isyarat”. Aku ingat, kali pertama aku membaca kisah itu, aku masih kelas 2 SMP.
Problematika hidup yang kualami mungkin hanya perihal memandang punggung orang
yang kukagumi.
Tanpa bermaksud meremehkan kesulitan
hidup yang dialami Tyas 7 tahun lalu. Aku kemudian menemukan sudut pandang yang
berbeda ketika membaca ulang cerita itu.
Seperti yang Dee katakan, mungkin
sang gadis masih lebih berbahagia nasibnya karena tau apa yang bisa ia miliki
secara pasti. Kemasygulan hidupku mungkin tidak seberapa, hanya remah roti.
Tapi, sialan, memandangi punggung orang selama 5 tahun sangat menyebalkan. Aku tidak
pernah tau batasan yang pasti, apa yang bisa dan mustahil aku miliki.
Menjadi tua, (dan mungkin
dewasa), aku jadi rutin menafsirkan ulang cerita.
Dulu aku berharap setengah mati, agar
si pemilik punggung menengok sekali-kali.
Kini, aku bersyukur sepenuh hati.
Tidak ada perayaan yang lebih dari ini.
0 komentar:
Posting Komentar