Tidak ada suara berisik di sekitarku. Justru sunyi begitu bising di sini.
Satu-satunya yang gaduh di sini adalah pikiran di kepalaku sendiri.
Kegaduhan itulah yang membuatku terjaga malam ini.
Aku tidak sedang merindukan siapa pun. Kamu jangan dulu berbesar hati.
Memang rasanya ada yang hilang, entah apa itu. Aku malas untuk mencari.
Kubiarkan saja ada yang kosong di sana, entah di mana. Entah apa yang mampu mengisi.
Ah ya, aku ingin mengabari.
Kemarin hujan turun deras sekali.
Hujan pertama di bulan ini, di bulan kelahiranku ini.
Ada banyak yang terjebak di dalam kampus, aku justru menjebakkan diri.
Hujan itu istimewa bagiku. Mungkin kamu tidak akan mengerti.
Ada kehangatan yang dibagi, ada kenyamanan yang tak perlu lagi dicari.
Aku selalu berpikir daripada mengeluh karena terjebak olehnya, mengapa tidak dinikmati?
"Kamu naif sekali."
Mungkin kamu akan berkata begitu, aku tahu sekali.Aku memang terlalu naif, sehingga pernah percaya padamu sekali.
Ah sudahlah, aku tidak ingin membahasmu dalam tulisanku kali ini.
Atau pun dalam tulisan-tulisanku nanti.
Kamu, dalam tulisanku hanyalah karakter mati.
Yang sesekali bangkit dari kuburannya sendiri.
Seperti mayat hidup atau zombie.
Yang harus kubasmi tiap-tiap kali muncul, seperti saat ini.
Kalau sudah mati, mati sajalah. Terima saja ajalmu itu, wahai zombie.
...
Aku tidak lagi tertarik untuk membahas masa laluku sendiri.
Hal yang ingin kutulis hanyalah saat ini, atau pun nanti.
Masa lalu sudah lama lewat, dan aku tidak ingin mengejarnya lagi.
Karena kusadari bahwa itu sia-sia sekali.
Bahkan untuk menuliskannya, karena itu terasa bahwa aku menghidupkannya lagi.
Punggungku pegal sekali. Hari ini aku kuliah pagi.
Mungkin lebih baik ku jemput dia, mimpi buruk itu lagi.
(Ah, mimpi buruk sekalipun masih lebih baik daripada harus membangkitkanmu dalam tulisanku kembali.)
Tyas Hanina