Saya mungkin tidak akan lupa hari itu.
Tiga hari yang lalu.
Pagi yang masih gelap, diguyur hujan yang tak kunjung
lenyap.
Dan saya harus berangkat sekolah, dilindungi jas hujan
kebesaran- berada di boncengan abang Ojek langganan yang meminta ongkosnya
dinaikkan.
Hujan pagi itu, tidaklah hanya gerimis tak berkesudahan.
Volume air hujan yang berlebihan, ditambah selokan yang
penuh sampah. Menciptakan banjir.
Ya, peran kita- kebiasaan buruk kita membuang sampah secara
sembarang yang mendatangkannya.
Menerjang banjir, jas hujan kebesaran itu ternyata tidak sepenuhnya
melindungi tubuh saya.
Air hujan merembes masuk, lewat celah di leher. Sehingga
baju olahraga yang saya kenakan, hingga kaos putih sebagai dalaman kebasahan.
Saya menggunakan sendal, untuk pencegahan agar kaos kaki
saya tidak berbau dan kebasahan.
Saya menggulung celana olahraga sedengkul, membiarkan betis
saya menjadi tontonan dan terendam air genangan.
Saya menyipitkan mata, membiarkan wajah saya ditampar air
hujan.
Dan kalian tau kenapa saya serela itu?
Untuk sebuah mata pelajaran yang mengharuskan angkatan saya
masuk 30 menit lebih awal untuk senam pagi bersama.
Tidak peduli, hujan lebat. Tidak peduli, bangun terlambat.
Saya sampai di sekolah, pukul 05.59. Ketika saya memeriksa
penunjuk waktu di ponsel saya.
Saya datang lebih awal 1 menit dari waktu diperintahkan.
Dan saat itu, sekolah baru didatangi beberapa dari sekian
banyak murid seangkatan.
Saya memakluminya, banjir dan hujan lebat mungkin menjadi
alasannya.
Pagi itu, senam dibatalkan.
Waktu belajar pun dimundurkan.
Banyak siswa yang akhirnya terlambat datang.
Dan ternyata hari itu tetap penuh kejutan.
Senam itu dilanjutkan pada siang hari.
Siswa yang baju olahraganya kebasahan panik, apalagi mereka
yang tidak membawanya.
Jujur saja, saat itu saya merasa sebal.
Siang hari, sudah waktunya istirahat.
Membayangkan harus berjemur di terik matahari dan
berolahraga rasanya tidak menyenangkan.
Terlebih lagi saya tidak membawa bekal makanan, dan seharian
itu hanya Nasa yang mengisi perut saya.
Saya khawatir, maag saya akan kambuh dan ternyata benar.
...
Saya pulang dan sampai ke rumah 1 jam lebih lama dari
biasanya.
Rumah kosong, perut saya perih, sepatu kanan saya baru saja
terendam genangan air kotor kecoklatan.
Saya masuk ke kamar mandi, menutup pintunya.
Ibu saya pulang dari rumah tetangga, memprotes saya yang
belum menaruh baju kotor ke mesin cuci.
Saya mencoba membuka pintu, dan pintu itu terkunci.
Tidak bisa terbuka, dan saya ternyata lupa bahwa pintu itu
memang rusak sejak pagi.
Saya menangis di dalam kamar mandi, Ibu mencoba membukakan
pintu dari luar.
...
Begitulah, kira-kira kekacauan 1 hari itu.
Apakah terlalu hiperbola?
Saya termasuk orang yang jarang menangis. Menangis, bagi
saya adalah titik terakhir dari emosi yang saya miliki.
Saya ingat kesal sekali hari itu, dan mungkin saya akan
terus mengingatnya.
Kelak ketika nanti saya berstatus Mahasiswi Negeri..
Kelak ketika nanti saya jadi penulis buku..
Kelak ketika saya diperistri..
Kelak ketika saya memiliki anak..
Kelak, ketika saya akan mengenang masa-masa menjengkelkan
itu dengan senyuman atau bahkan tawa.
Haha.
...
Dan diam-diam saya juga mengucapkan banyak syukur hari itu.
Saya hanya kali itu, melewati banjir untuk mencapai sekolah.
Saya hanya kali itu, berangkat bagi shubuh untuk mencapai
sekolah.
Sedangkan, ada anak negeri di luar sana.
Yang harus menyebrangi sungai. Menyebrangi jembatan yang
hampir rubuh.
Untuk mencapai sekolah.
Yang harus berangkat pagi buta. Menempuh jarak yang begitu
jauhnya, dengan berjalan kaki.
Untuk mencapai sekolah.
Untuk mencapai sekolah, dan belajar.
Belajar agar kelak, mereka- kita- termasuk saya.
Sebagai calon pemimpin negara ini.
Belajar untuk merubah, untuk tidak membiarkan agar di masa
depan, pendidikan berjalan seperti sekarang ini.
Aamiin untuk itu.
Tyas Hanina
P.S
Entah kenapa akhir-akhir ini saya banyak bersikap dan berpikir (terlalu) serius.