Salah satu pertanda bahwa hari perayaan itu segera dimulai adalah dapur rumahku yang ngebul.
Ibu
sibuk mondar-mandir mengantarkan pesanan kue nastar. Meski mungkin akan
bias, tapi aku merasa kue nastar buatan toko dengan bulatannya yang
sempurna disertai bungkus pita tidak akan pernah jadi pesaingnya. Ibuku
konsisten membuat kue nastar, hanya kue nastar, selama bertahun-tahun di
setiap bulan Ramadhan.
Aku
punya satu cerita sedih tentang ini. Sewaktu acara halal bihalal di
SMP, setiap dari kami diwajibkan untuk berdadan rapi bak hari raya dan
membawa kue kering dari rumah masing-masing. Aku tampil dengan tunik
biru laut yang kubeli di Matahari, dengan bangga menenteng kue nastar
buatan Ibu. Terima kasih untuk tangan teledorku, aku tidak sengaja
membenturkannya di angkot. Dan begitu ku periksa, penampilan kue nastar
itu sudah berantakan. Aku tetap meletakannya di meja saji, tapi tidak
ada yang mau mencicipi nastarku.
Setelah
bertahun-tahun, aku masih merasa tidak enak dengan Ibu. Sedih
membayangkan nastar buatan Ibu mungkin akan melayang ke tempat sampah
tanpa satu tangan pun menjamahnya.
Menjelang
hari raya, biasanya akan ada banyak tamu yang datang ke rumah untuk
bertemu dengan Bapak. Dari mulai saudara hingga teman kantornya,
sebagian besar dari mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berdiskusi
dengannya.
Terkadang,
Bapak juga mengajakku berdiskusi di sofa ruang TV, walau seringnya aku
tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu banyak tentang kerajaan Inggris,
urusan politik Donald Trump, buku-bukunya Rumi, dan sebagainya. Merespon
ketidaknyambunganku, Bapak tetap baik dan matanya seolah mengatakan
tidak apa-apa, duduklah, aku hanya ingin bercakap-cakap. Jadi,
seringkali aku hanya duduk di sofa dan mendengarkannya berbicara.
Saat
aku hampir masuk SMA, Bapak pergi dinas ke negeri Gajah. Mendekati
akhir Ramadhan ia pulang ke tanah air. Aku sempat pundung karena jumlah
uang lebaran yang kuterima lebih kecil dari kepunyaan Aa’ku. Sampai
sekarang aku merasa malu ketika ingat saat Bapak menghampiriku dan
meminta maaf karena ia masih membutuhkan uangnya untuk membeli tiket
pesawat.
Aku
hampir tidak pernah bisa tidur di malam takbiran dan tahun baru. Aku
sangat mudah terbangun. Bunyi petasan adalah musuhku. Bagaimana ya?
Mendengar suara batuk atau pintu kamar mandi yang terbuka di lantai
bawah pun bisa membuatku pulang dari dunia mimpi. Padahal apa susahnya
sih tinggal merem dan pura-pura tidur sampai tidur tidak lagi pura-pura?
Suatu
malam, Aa’ sibuk menjajal gitar listriknya yang belum lama dibeli.
Naluri bermusiknya memang alami. Dan diantara tiga bersaudara, dia
adalah yang paling unggul di bidang seni. Sayangnya, saat itu timing-nya
tidak pas. Aku sedang kelelahan hingga rasanya seluruh tubuhku meleleh.
Begitu memejamkan mata, suara gitarnya semakin membesar. Aku sibuk
meneriakinya untuk berhenti selama beberapa menit.
Gumpalan
rasa bersalah masih sangat pekat di dadaku. Setelah aku kuliah di luar
kota, Aa’ pindah kamar tidur. Padahal sekarang, ia bebas kalau mau
menciptakan orkestra semalaman penuh.
“Dek, ada kembang api!”
Bapak
memanggilku dari ruang tamu. Kami baru saja selesai menyantap buka
puasa terakhir, tumpukan piring dan gelas masih menumpuk di meja, dan
aku masih terlena di sofa ruang TV sambil memainkan ponsel.
Aku
ragu kembang api itu masih bisa menyala. Seingatku, Aa’ membelinya
ketika keponakanku sedang berada di rumah awal tahun yang lalu. Kami
sempat memainkannya bersama di depan teras selama beberapa menit saja,
karena ternyata dia takut api.
Kabar baiknya, mereka masih menyala dengan sangat terang!
Aku
dan Bapak sempat menyalakan 1 batang dan memotretnya sebagai
kenang-kenangan. Setelahnya, kami masuk ke rumah dan memutuskan untuk
menghadiahi kembang api ini kepada anak-anak yang takbiran di masjid.
(Entah ini ide yang bagus atau tidak. Setiap kali mendengar kata kembang
api, memoriku terbagi dua; 1. Perang sarung dan mukena saat taraweh, 2.
Tragedi meledaknya pabrik petasan yang tidak jauh dari rumah).
Keesokan
harinya, aku bangun saat Shubuh. Tubuhku sakit luar biasa karena tidak
menelan tidur dengan sempurna. Aku sempat pindah ke kamar tidur Nenek
yang sudah kosong, tapi rupanya hal itu tidak banyak menyumbang nyenyak.
Beberapa
kenalanku mengeluh tentang kemungkinan datangnya pertanyaan menyebalkan
ketika bertemu sanak saudara. Aku hanya bisa nyengir kuda membaca satu
per-satu curhatan mereka. Ada yang kesal karena ditanya kapan lulus,
kapan nikah, kapan membawa pacar, kapan kurusan, kapan kerja, kapan
punya anak, dan sebagainya.
Aku
sejujurnya tidak begitu keberatan ditanya seperti itu. Sangat sulit
untuk membuka obrolan, dan aku suka ketika ada yang datang dan membawa
pertanyaan duluan.
Tapi,
dari pengalamanku, mungkin karena aku bungsu. Aku nyaris tidak pernah
ditanya apapun perihal asmara. Saudaraku kebanyakan bertanya tentang
rencana pendidikanku saja. “Tyas, sudah kelas berapa? “Sudah kuliah?”
“Sudah kelar skripsinya?” “Sudah ada rencana S2 ke mana?” “Kamu jurusan
apa?” “Oh, wartawan, gajinya kan kecillllll”
:D
Memang
sih ada pahit-pahitnya sedikit seperti tidak sengaja mengigit lengkuas
di kuali rendang. Tapi, ya sudah, telan saja atau lepeh. Asal jangan
diabaikan saja seperti nastarku di tahun 2010 dulu.
Akhirnya
jawaban dari pertanyaan “Tyas, kapan kamu nulis lagi di blogmu?” tidak
hanya kujawab “Kapan-kapan”, tapi “Sudah, sudah kutulis!”. Haha. Selamat
hari Raya, semuanya! Semoga setiap dari kita bisa memaafkan kesalahan
diri masing-masing.
Tyas Hanina