“Tubuhku adalah rumahku.”
Pernahkah kamu membayangkan
sebuah bangunan bersikap agresif kepadamu? Sebuah benda yang kamu kira selama
ini mati? Bangunan ini kamu bawa ke mana-mana. Ke selatan, utara, timur, barat
daya. Kamu letakkan ia di posisi mana pun yang kamu hendaki. Kamu tinggal di
dalamnya, berlindung di naungan atapnya.
Tanpa kamu sadari hubunganmu
dengannya bersifat paradoksial. Karena pada saat yang bersamaan, kamu juga
digerakkan olehnya.
Hasratmu, penasaranmu, amarahmu,
girangmu, kecewamu, traumamu. Semua hal yang kamu kenang di dalam kening
menjadi bahan bakar penggeraknya.