Sembari telentang di bangku
belakang mobil, telapak kakiku menyapa kaca jendela, mataku kadang terpejam
atau sibuk menari-nari dalam halaman komik. Aku tiba-tiba mampu meramal cuaca,
kalau telapak kakiku hangat berarti di luar tidak hujan deras. Apabila telapak
kakiku sejuk berarti matahari sedang bersembunyi. Sederhana sekali pemikiranku
di usia ke-9 tahun.
Kadang-kadang, setelah Ibu
memarahiku dan menyuruhku duduk dengan posisi yang benar. Pandanganku baru
kulemparkan ke arah angkasa. Langit biru,
awan putih. Aku senang tidak memikirkan apa-apa sembari sibuk memerhatikan arakan
awan. Meramal cuaca jadi lebih susah. Mataku selalu terlambat menangkap titik
hujan pertama yang jatuh, atau ancang-ancang matahari untuk kabur.
-
Langit biru, awan putih.
Siang ini, tiba-tiba aku ingin
mematikan lampu kamar dan membuka gorden jendela. Cuacanya cerah sekali saat
ini, tapi tidak ada garansi pasti keadaannya akan terus seperti ini 30 menit
nanti. Aku baru selesai membaca bab “Melukis Langit” di buku 9 dari Nadira yang terbit lebih dari 9
tahun lalu.
Tiba di halaman ke-80, aku tanpa
sadar melipat ujung halaman itu. Aku benci sekali kalau bukuku mendapat
perlakuan yang sembarangan, tapi apa yang kusaksikan di halaman itu membuatku
ingin membacanya berulang-ulang kali. Kemudian, memutar otak mencoba mengingat
kembali ruang redaksi yang kutemui 3 bulan lalu, membayangkan tenggat waktu
yang mungkin akan kuhadapi 3 tahun ke depan.
Nadira, mungkin benar menjadi
wartawan itu memang....
Lamunanku terhenti sebentar
setelah bunyi token listrik tetanggaku berbunyi.
Tititititititititititit..
-
Langit biru, awan putih.
Setelah kuperhatikan kalimat ini
sangat dogmatis. Kalau kamu kerahkan seluruh konsentrasimu pada dua benda angkasa
itu, kamu akan tahu bahwa pernyataan itu tidak pernah sepenuhnya tepat.
Biru langit tidak pernah
benar-benar biru. Ada campuran warna abu-abu sedikit, seperempat warna ungu terkadang,
merah jambu juga suka ikut-ikutan. Awan juga sama, ia tidak sesuci itu, kadang
ada coretan warna abu-abu (lagi-lagi), juga jingga, dan jangan lupakan ungu.
Semua warna yang berkumpul itu
memang seringkali bekerja sama dengan baik untuk menciptakan pemandangan
angkasa yang selaras. Sapuan warnanya selalu tercampur dengan baik. Pencipta angkasa
sungguh punya bakat seni yang tinggi.
Tidak sepertiku yang sampai
sekarang masih tertatih untuk menggambar langit biru dan awan putih dengan cat
air. Terakhir kali aku mencobanya aku sangat marah pada diriku sendiri dan
merusak canvas kedua yang kubeli. Aku bukan pelukis langit yang baik.
-
Langit biru, awan putih.
Terbentang indah, lukisan yang kuasa.
Ku melayang di udara, terbang dengan balon udaraku.
Oh, sungguh senangnya lintasi bumi. Oh, indahnya dunia.
Ah, setelah lidahku pegal
melafalkan kalimat itu akhirnya aku sadar itu salah satu lirik lagu Sherina.
Apa kabar ya dia sekarang? Apa masih
senang menyusuri kebun teh dan menyusup ke observatorium bintang? Aku sudah
tahu jawabannya, tidak. Tidak lagi. Sherina sibuk entah di mana dan mengejar
sesuatu yang entah apa. Bukan Sadam, bukan bintang, bukan cokelat Chacha.
Sherina pasti terbawa
terbahak-bahak kalau tahu aku pernah gagal menonton atraksi langit di Bosscha.
Waktu itu seharian cuaca cerah, sampai matahari tidur langit juga masih
baik-baik saja. Aku tidak menyelinap ke observatorium itu. Aku sudah memesan
tiket dari jauh-jauh hari.
“Halo, tiket nonton bintangnya dua ya?” Penjaganya pun masih ingat
suara sengauku di telepon.
Tiba-tiba hujan turun. Bukan tik tik tik lagi bunyinya. Langsung bressss. Lalu brrr.
Aku tidak bawa jaket tebal, hanya
jas hujan biru muda yang kutinggal di jok motor. Kulihat dari ujung mataku,
para petugas observatorium segera sibuk menutup teropong. Takut air hujan
masuk. Takut peninggalan bersejarah itu rusak. Tapi, mereka tidak takut aku akan
kecewa karena gagal menonton bintang. Sialan.
-
Langit biru, awan putih.
Aku sudah bosan mengingat kalimat
itu, aku mau pergi ke kasur dan mendengarkan kembali kisah Nadira.
Belakangan ini aku banyak membaca
buku dan menonton film. Kadang-kadang kulakukan dua aktivitas itu di kamar
mandi. Sembari mencuci baju dan mengelap piring. Untungnya aku tinggal
sendirian saja, jadi tidak akan ada yang bingung kenapa aku selalu menghabiskan
waktu yang banyak sekali di ruang sempit itu.
Aku tidak tahu lagi apakah
kekosongan waktu ini bisa kubilang masa berlibur. Aku sudah kenyang rasanya ongkang-ongkang
kaki. Ingin segera menyelesaikan apapun yang kumulai 4 tahun lalu, dan pergi
dari sini.
Eh, tapi pergi ke mana ya?
Jatinangor,
Tyas Hanina