Setelah
iseng buka profil facebook teman-teman lama, aku baru menyadari bahwa ada
fragmen dalam hidupku juga hidup mereka yang berbenturan, dan melekat di
ingatan.
-
Aku
masih ingat si Z, seorang teman SD yang pernah membocorkan rahasiaku pada
Ibuku. Tepat pada hari ulang tahunku yang ke-10, Ibuku datang berkunjung ke
sekolah untuk mentraktir teman sekelasku makan bakso. Aku masih ingat rasa
bakso hari itu, malu dan pedas, agak asin dan kesal.
R,
berbeda dengan Z, tidak pernah ada alasan khusus mengapa aku pernah menyimpan
kesal dan tetap berhubungan dengannya usai kami terpisah setelah lulus sekolah.
(Karena saking menyebalkannya orang ini, dan saking payahnya aku menjaga
komunikasi). Rumah kami berdekatan, otomatis kami sering bertemu di perjalanan.
Alih-alih, bercakap-cakap tentang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,
satupun salam ku tak pernah digubris olehnya. Tapi, itu tak apa-apa. Tidak
pernah ada bentrok fisik yang terjadi antara kami berdua, kecuali pada satu
momen ketika kami berdebat entah tentang apa dan saling memegang sapu untuk
memukul satu sama lain, tapi tidak jadi. Tawa kami pecah berhamburan detik itu,
mungkin untuk pertama kali.
Ada
pepatah yang bilang, bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Entah kenapa
aku urung setuju akan hal itu, ketika aku mengenal E. Jasanya mungkin tidak
terlihat oleh mata, tapi ada satu jendela di kepalaku yang terbuka usai
bercakap dengannya sore itu. Katanya, “ada sesuatu di mata kamu yang berbeda
dibanding murid lainnya, kamu berbeda saat belajar, berbeda saat berpendapat,
berbeda saat mendengarkan”. Aku tidak
pernah tahu, sejujurnya, apakah
perbedaan melulu dapat diartikan sebagai hal yang menawan. Namun, yang jelas,
kemudian aku sadar bahwa aku gondok setengah mati karena dia tidak bisa
mengajari aku ekonomi lagi.
-
Baik
Z, R, maupun E, juga jutaan inisial yang tidak sempat aku ceritakan di sini;
Cerita
tentang mereka membeku dalam pusaran waktu. Sesekali aku tidak keberatan untuk
menengok kembali, seperti saat ini. Walaupun ada beberapa hal yang menjadi
kabur, karena terlalu lama tidak ku tanya kabar. Namun, orang bisa lupa tentang
apa yang diucapkan, orang bisa lupa tanggal dan waktu kejadian, tapi tidak
dengan gumpalan perasaan.
Aku
kemudian jadi sibuk mengira-ngira sendiri, bagaimana fragmen tentangku di
pusaran waktu mereka? Bagaimanakah aku akan diingat? Dan, pantaskah aku tetap
melekat?
-
Karena
sudah terlanjur, jadi sekalian saja, aku ingin bertukar kabar dengan
orang-orang yang masih menyediakan tempat untukku di pusaran waktunya;
Aku
baik-baik saja, terima kasih sudah mengingatku. Bagaimana
denganmu?
Jatinangor,
TH