Hai Tuan,
Sudah cukup lama, aku tidak menghidupkanmu lewat tulisan.
Namun, bukan berarti kau sudah mati- meskipun kau hidup bersama
rintihan kata yang menunggu ku bangkitkan.
Di dunia nyata,
Aku hidup dalam kehidupanku, begitu pula kamu yang hidup
dalam kehidupanmu.
Tidak ada lagi kita di dunia nyata, begitu pula kehidupan
tentang kita.
Kita.
Adalah bagian dari masa lalu.
Yang indah namun membuat lelah.
Yang manis namun membawa tangis.
Baik dulu, maupun jika aku membangkitkannya dalam ingatan.
Seperti sekarang ini.
Sungguh aku sama sekali tidak merasa sendu, maafkan jika
tulisanku bernada begitu.
Aku hanya, sedang rindu.
Pada pemilik tawa terindah yang pernah kusaksikan.
Pada pemilik mata terteduh yang pernah kupandangi.
Pada pemilik hati, yang pernah membuatku utuh.
Padamu, Tuan.
...
Mengapa kau masih menulis tentangku, jika melepasku pergi adalah
pilihanmu Nona?
Sebab,
Dengan menulis aku bisa menghidupkanmu.
Dalam penghidupanmu lewat barisan huruf yang kutuliskan.
Aku bisa hidup bersamamu.
Aku bisa menghabiskan waktu untuk mengingatmu tanpa sia-sia.
Aku menghasilkan karya.
Dengan menghidupkanmu, beserta membangitkan kita yang
membawa luka.
Sebab kata-kata abadi,
Dan aku belum binasa.
Sebab kamu pernah sangat berarti.
Dan aku kini mencoba menjadikanmu biasa saja.
...
Sebab,
Aku tidak bisa
mengobati rindu dengan pertemuan kita.
Terlalu mahal harga
yang harus “kubayar”.
Akan semakin banyak
luka yang menguar.
Maka dari itu,
Aku memilih
pengobatan alternatif dengan cara menulis.
Ini gratis.
Dan aku dapat menyembunyikan
ekspresi asliku.
Ah percayalah.
Aku tidak sesedih
yang ditampakkan tulisanku.
Namun juga tidak
seberani yang ditunjukkan kata-kataku.
Dan percayalah.
Aku memang
merindukanmu.
Tanpa perlu kamu tau.
...
Tyas Hanina
(25/1/2014)
(25/1/2014)