“Mungkin hanya ini yang bisa kuberi.”
Katamu.
Aku tersentak dan juga bingung. Apa yang ingin kau berikan
padaku?
Kulihat kau tidak membawa apapun bersamamu, selain senyum
malu-malu itu.
Apa mungkin kau menyembunyikannya di saku celanamu?
Aku terus bertanya kepadamu di dalam kepalaku.
“Semoga hal ini, dapat membuatmu terus mengingatku sebagai perihal yang
baik.”
“Dan suatu saat kamu kesal padaku. Ada hal ini yang dapat membuatmu memaafkanku
hehehe.”
Kau terus berbicara. Tanpa menunjukkan apa-apa.
“Katakanlah apa hal
itu.”
Senyummu melebar ketika mendengarku bersuara.
“Apakah kau merasa penasaran akan hal ini?”
“Tentu saja.”
Kau tidak merogoh saku celanamu untuk mengambil hal itu.
Justru, kau memegang tanganku dan menggenggamnya erat.
“Ran.”
Aku yakin sekali, dress merah
yang kukenakan ini masih kalah jauh merahnya oleh rona pipiku.
“Aku cuma bisa ngasih ini ke kamu.”
Suaramu dalam dan halus.
Dan aku yakin sekali. Suara hingar bingar live music di restoran
ini tidak seberapa berisiknya dari degup jantungku.
“Janji.”
...
Bulan
menyembunyikan separuh tubuhnya dari langit malam ini.
Katanya, dia
sedang merasa tidak utuh.
Barangkali kamu
ingin tahu, begitu pula aku.
Aku bersembunyi
dari siapapun yang kukenal malam ini.
Ku matikan
telpon genggamku. Tidak ingin berhubungan dengan siapapun.
Kecuali, kamu.
Aku merutuki
diriku sendiri ketika mengingat kamu.
Aku tidak bisa
menyalahkanmu, lagi-lagi.
Sudah lama kita
tidak terhubung.
Tali yang
menghubungkan kita berdua sepertinya sudah putus.
Kapan itu
terjadi, aku tak tahu. Bagaimana itu terjadi, aku tak mau tahu.
Walau begitu,
aku masih sering mengingatmu.
Senyum
malu-malu itu. Kemeja yang digulung hingga siku. Hembusan asap rokokmu.
Percakapan kita
malam itu.
Janjimu.
...
“Janji..?”
“Ran..”
Lagi, kau panggil namaku.
“Aku tahu, aku cuma bisa janji saat ini.”
“...Tapi kita tidak tahu bagaimana nanti.”
Perlahan, tanganmu bergerak menyentuh pipiku. Mengusapnya
secara halus.
“Aku tahu dan aku mau. Kamu bakal ngerti. Dan, kamu pasti ngerti.”
“Ran.. Aku janji kita akan bahagia. Aku janji kita akan baik-baik saja.”
Kau sibuk berbicara. Aku sibuk menahan ledakan di dadaku.
...
Ya, kita tidak
tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi nanti.
Benar katamu.
Aku setuju.
Karena saat
ini,
Adalah masa
depan dari masa lalu kita itu.
Dan aku pun
akhirnya tahu bagaimana dahsyatnya pemberianmu itu.
Ya, janjimu.
...
“Apa maksudmu?”
Aku melepas tanganmu. Sedikit memberikan jarak kepadamu.
“Aku janji Ran. Bahwa pada akhirnya, hanya akan ada kita berdua.”
“Tanpa ada orang lain, untuk menjadi tiga.”
Pada akhirnya, aku tidak kuasa menahan ledakan itu.
“Kenapa kau harus
berjanji? Kenpa tidak memberiku bukti?”
Kau menarik nafasmu perlahan, lalu menatapku lebih dalam.
“Gak bisa, untuk saat ini saja.”
“Kita harus menunggu waktu yang tepat Ran.”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Apakah pernah ada
waktu yang tepat untuk kita?”
“Apakah pernah hatimu
tetap untukku saja?”
Kau menggengam kembali tanganku.
“Pasti. Pasti ada.”
“Hatiku hanya untukmu
Ran.”
“Tapi semesta belum
mengizinkan kita untuk berdua.”
“Karena aku masih
terikat oleh orang lain.
“Saat ini, adalah saat yang buruk untuk melepaskan ikatan itu.”
“Saat ini, adalah saat yang buruk untuk melepaskan ikatan itu.”
...
Aku mencegah
air mataku untuk tumpah lagi malam ini.
Aku tidak ingin
benci kamu, tidak ingin sama sekali.
Aku ingin terus
mengingatmu sebagai perihal yang baik untukku.
Aku ingin terus
memegang janjimu itu.
...
“Dia sedang berbadan
dua.”
Air mataku tumpah tanpa sempat aku cegah.
“Jadi, aku mohon Ran.
Mohon sekali.”
“Aku janji sama kamu
Ran kita akan bahagia, nanti.”
“Tapi aku mohon kamu
juga bisa janji kepadaku.”
“Bahwa kamu bersedia
untuk menunggu.”
Terus terang, aku tidak tahu ingin menamparmu atau memelukmu
saat ini.
Aku merasa marah sebagai seorang perempuan.
Namun, juga merasa cemburu sebagai seorang kekasih.
...
Siapapun yang
mendengar kisah kita pasti akan timbul rasa benci di dadanya.
Aku tahu pasti.
Perlahan, bukan
hanya orang-orang lain saja.
Aku mulai
membenci diriku sendiri.
Ketika aku
mulai jengah dan sadar bahwa janjimu palsu.
Tapi, aku tidak
pernah bisa membenci kamu.
...
“Lalu, apa rencanamu
untuk kita?”
Bergetar, akhirnya keluar kalimat tanya itu dari bibirku.
“Aku akan meminangmu Ran..”
“Setelah aku memutus tali pernikahanku dengannya..”
“Setelah anakku sudah lahir dari perutnya..”
...
Masih terasa hangat di ingatanku.
Semua detail kejadian malam itu.
Aku ingat dengan jelas, bagaimana semua
pasang mata melihat ke arah meja kita.
Aku ingat, aku menatap kamu dengan
amarah.
Aku ingat, kamu memegangi pipimu yang
merah.
Setelah ada tamparan yang keras dariku di
sana.
...
“Aku gak pernah
nyangka bahwa kamu sejahat ini.”
“...Aku juga jahat
karena egois menahanmu selama ini. Mengabaikan tali ikatan itu.”
Aku menatap nanar cincin di jemarimu.
“Jika kamu ingin aku
terus mengingatmu sebagai perihal yang baik.”
“Lupakan rencana itu.”
“Aku akan tetap
memegang janjimu. Bahwa kita akan bahagia dan baik-baik saja.”
Kini, aku menggengam erat tanganmu.
“...tapi aku tahu bahwa
kamu juga tahu.”
“Bahwa kita tidak
akan bisa berdua.”
“Aku tidak dapat
menggenapimu, sebaliknya juga kamu.”
“Dari awal hubungan
kita sudah ganjil.”
“Jadi, biarlah
seperti ini.”
“Kalau memang hatimu
untukku, aku tidak keberatan kamu terikat oleh hati yang lain.”
“Biarkan perihal hati
kita menjadi rahasia.”
“Dan perihal janjimu,
menjadi hadiah terindah untukku. Walau mustahil untuk menepatinya.”
...
Di bilangan
yang tak terbilang.
Aku
mengingatmu.
Hatiku lebam. Rindu
itu kejam.
Aku meringis,
mengingat janjimu yang manis.
Aku menangis,
mengingat pelukmu yang magis.
Aku ingat
dipeluk kamu setelah aku menamparmu dan mengucapkan kata-kata itu.
Ledakan itu
meredam dengan sendirinya karena pelukan itu.
Setelah itu
kamu mengantarku pulang ke rumah.
Memberikan
kecupan ringan pada bibirku.
Mengucapkan
selamat tinggal, dan berjanji akan tetap menghubungiku.
Dan berjanji
akan melupakan rencanamu.
Aku ingat
memeluk kamu sebelum kamu pergi.
Dan meminta
kamu untuk bahagia.
Dan meminta
bahwa kejahatan kita cukup sampai sini saja.
Aku ingat kita
sama-sama menangis.
...
Hai, kamu?
Apa kabarmu?
Bagaimana kabar
jagoan kecilmu?
Aku rasa aku
tahu alasan mengapa tali kita terputus tiba-tiba.
Itu karena kamu
sudah merasa genap.
Atau kamu sudah
tahu.
Bahwa untuk
merasa genap, kamu harus menghilangkan satu bilangan yang membuatmu selama ini
ganjil.
Yaitu, aku.
Aku adalah
bilangan yang kau pilih untuk dihapus dalam hidupmu.
Tak apa.
Aku tidak akan
membencimu walau itu berarti..
Janji itu hanya
untuk buatmu saja.
Bahwa yang
bahagia dan baik-baik saja, itu kamu.
Aku tidak
perlu.
Tidak apa,
kamu.
Aku tetap
mencintaimu.
Aku tidak
peduli seluruh dunia membenciku.
Selama ada
kamu, yang pernah mencintaiku.
Tng, 31 jan 2015.
Rani.
Kekasih gelapmu /Bilangan
ganjilmu