Same shit, different day.
Begitulah kalimat yang tertulis di punggung seorang
pengendara motor yang berada di hadapan saya ketika berangkat sekolah. Raut
pria itu menahan kantuk, begitu pula anak kecil berseragam putih merah yang
dengan erat memeluk pinggangnya. Mungkin ini adalah salah satu rutinitas
mereka, salah satu agenda wajib yang terisi di 5 hari dalam seminggu. Rutinitas
yang bisa dibilang dialami oleh kebanyakan orang.
Termasuk saya.
Pada rentang waktu 6 sampai 7 pagi. Saat Spongebob dan Patrick
baru muncul di televisi hingga acara mereka selesai. Pada saat itu, jalan raya
dipenuhi oleh kendaraan. Dipenuhi oleh orang-orang yang berangkat ke tempat
tujuan, berjuang untuk sesuatu di masa depan. Menuju kantor untuk mencari
sejumlah materi, menuju sekolah untuk meraih segenggam ilmu.
Roda kehidupan terus berputar seperti itu. Setidaknya,
begitu yang saya liat di kota tempat saya tinggal yang tidak terlalu besar ini.
Entah kapan roda itu akan berhenti.
Dan, bukan itu hal terpenting untuk dipertanyakan.
Kapanpun roda itu dapat saja berhenti. Dan entah siapa yang
sudah siap untuk beradaptasi.
Justru yang terus menerus menggangu perhatian saya adalah
pertanyaan..
Apakah kita benar-benar “bergerak” ketika roda kehidupan berputar?
Apakah kita selama ini hanya “digerakkan” dan mengikuti geraknya?
Does it matter? For
me, yes.
Sedari dulu, mimpi buruk saya adalah menjelma jadi sebuah
“monster” yang bernafas namun tidak benar-benar hidup, pergi tidur namun tidak
punya mimpi, berjalan tapi tidak punya tujuan. Menjadi hanya seonggok daging
yang punya nama.
Rutinitas terdengar membosankan. Ah tidak, memang
membosankan. Meski, saya tahu saya pun
membutuhkannya.
Tapi di sisi lain, saya pun merasa lelah akhir-akhir ini
dengan segala rutinitas yang dibedakan hanya dengan pergantian hari.
Saya mulai meragukan bahwa hitungan 1 hari di hari sabtu dan
minggu adalah 24 jam. Karena rasanya, 2 hari tersebut berlalu dalam satu
pejaman mata.
Lalu ketika saya membuka mata. Hari senin sudah menyapa.
“Hai, tanggung jawabmu sudah ada bersamaku.”
Dan saya harus tersenyum palsu menyambutnya, dengan tanggung
jawab yang datang bersamanya.
...
You know, it’s kind of tired that sleep can’t fix.
Saya tidak dapat menemukan kata yang cocok untuk mewakili
perasaan yang memeluk erat saya akhir-akhir ini.
Tapi sepertinya, kata Lelah sudah cukup mewakili.
Tired. And scared.
Saya takut menjadi “monster”.
Tadi malam saya bermimpi. Di mimpi tersebut, saya menonton
diri saya sedang berbicara di depan kelas menjelaskan pemikiran saya akan sesuatu
hal (yang saya lupa apa tepatnya).
“...pada intinya... yang membedakan dirinya hari ini dan
esok hari bukanlah hitungan usia. Yang terpenting bukanlah hal apa yang dia
harapkan hadir ketika ia membuka mata esok paginya, bukan hal apa yang akan dia
dapatkan keesokannya.
Namun, yang terpenting adalah apa yang dia lakukan pada hari
ini, apa yang dia perjuangkan dari fajar hingga senja tiba.
Itu yang terpenting.. itu yang akan merubahnya. Itu yang
akan membedakan dirinya yang kemarin dan sekarang.”
Saya tidak pernah menganggap mimpi sebagai suatu hal yang
remeh. Karena itu, ketika saya terbangun dari mimpi tersebut. Saya merasa
tertampar oleh kata-kata yang saya ucapkan di mimpi.
Ah, Yas.
Lo ngapain aja selama
ini.
Semoga bekas tamparan ini terus terasa ketika saya berhenti “bergerak”.
...
“We know you’re tired.
Tired and scared.
Happens to everyone, okay?
Just don’t let your feet stop.”
-Haruki Murakami-
Tyas Hanina