Put your iPod/Spotify on shuffle,
grab the lyric that appears 1:35 into the song,
and write from there.
Dua –
Kau
1:35
Selain
dirimu.
...
Selamat malam, Tuan.
Apa yang sedang kamu
lakukan di ujung minggu ini?
Tebakku, kamu
sedang bersama seorang perempuan.
Seseorang yang pastinya bukan aku.
Ah, tidak. Aku tidak akan mengeluhkan hal itu. (Atau
mungkin aku akan..)
Aku hanya ingin bercerita tentang malamku.
Malam yang kulewati dengan segelas kopi yang didinginkan
oleh angin malam.
Yang kuhabiskan dengan mengguratkan penaku, menulis huruf
per huruf, berkisah tentang kisah cinta pahit. Kisah fiksi, yang kuharap tak
akan pernah jadi nyata.
Sesekali aku mendongakkan kepalaku, menatap kursi kosong
di hadapanku.
Seandainya ada kamu
duduk di situ.
Mungkin, aku tidak aka rela bersibuk-sibuk membalas pesan
yang muncul di ponselku.
Bahkan mungkin, aku tidak akan ingat aku membawa ponsel
itu.
Karena percakapan langsung denganmu jauh lebih kutunggu.
Karena berbagi gelak tawa denganmu akan selalu kurindu.
Apa mungkin diriku tanpamu?
Jika aku jauh nanti, meninggalkan kamu dan kota kelahiranku ini.
Menanggalkan akar yang menempel di kakiku selama ini,
meninggalkan kamu bersama segala
kenangan semu..
Aku terbiasa sendiri. Aku tidak mempermasalahkannya,
tidak lagi.
Sesekali aku memang masih bertanya. Mengapa harus
sendiri? Mengapa tidak berdua denganmu?
Tapi, itu hanya sekedar pertanyaan. Yang sebaiknya harus
segera kulupakan tiap-tiap kali muncul di kepalaku.
Hanya saja...
Ah.
Kenapa aku jadi terkesan mengeluhkan ketidakhadiranmu?
Malam ini, aku pindah dari tempat duduk yang biasa
kutempati di kedai kopi ini.
Rasa-rasanya, aku hanya pernah duduk di satu tempat meski
sudah sekian lama berkunjung ke sana.
Aku merasa jenuh. Dan terganggu dengan suara tawa berisik
di meja sebelahku.
Aku pindah ke tempat yang lebih sepi. Meja depanku kini
adalah sebuah keluarga kecil yang tengah menikmati makan malamnya.
Akupun menikmati kesendirianku.
Para pelayan mondar-mandir mengantarkan pesanan. Salah
seorang dari mereka, menatapku. Entah sejak kapan.
Aku tidak sengaja membalas tatapannya. Dan memberikan
senyumku. Dia membalasnya.
Kamu
tentu tau. Aku terbiasa menghindari tatapan mata.
Bahkan, matamu. Pijar terindah yang pernah kupandangi tidak
kuasa lama-lama kupandang.
Karenanya, setelah itu aku kembali melemparkan pandanganku
ke buku. Kembali menundukkan kepalaku. Tenggelam dengan pikiranku, dan
harapanku akan kehadiranmu.
Sebenarnya,
Malam ini, aku tidak sedang ingin benar-benar sendirian.
Aku butuh teman untuk berbagi obrolan.
Karenanya, aku rela bersibuk-sibuk membalas pesan di
ponselku. Yang biasanya kudiamkan ketika aku ingin sendirian.
Karenanya juga, aku mengeluhkan ketidakhadiranmu. Yang biasanya
aku coba lupakan.
Mengapa kamu tidak
hadir malam ini?
Setidaknya, muncullah di ponselku. Singkat saja, sapa aku
dengan ucapan selamat malammu.
Tidak usah mengucapkan apa-apa lagi. Tidak perlu
kata-kata manis itu lagi.
“Selamat malam”.
Itu sudah lebih dari cukup.
Seperti sesendok gula untuk kopiku malam ini.
Tuan.
Selain dirimu, siapa lagi yang bisa
kubayangkan duduk di hadapanku saat ini?
Berbagi dua gelas kopi di meja. Berbagi gelak tawa dan mimpi-mimpi
tanpa ada jeda.
Apa rencanamu setelah ini? Tahun depan, kemungkinan besar
kita akan semakin berjarak.
Sebelum itu, aku ingin melewatkan hari bersamamu. Sekedar
bercerita.
Lucu mengingat bagaimana dulu sering kali aku terganggu
oleh dirimu yang cerewet berkomentar
akan penampilanku.
Kini. Rasanya jikalau aku rela bersibuk-sibuk merapikan
diri, memakai dress cantik, mengatur rambutku rapi, menyapukan kosmetik di
wajah. Rasanya, kamu tidak akan
memandangku.
Apalagi, memberikan komentar tentang itu.
Tuan.
Selain dirimu, siapa lagi?
Aku meringis membayangkan hari-hari yang akan kulewati
nanti.
Kala kita semakin berjarak.
Aku ngeri membayangkan aku masih seperti ini.
Diam di tempat yang sama. Tidak sadar atau tidak
memperdulikan waktu yang terus berjalan melewatiku.
Aku mendongakkan kepalaku. Melepas earphone di telinga.
Dari sini, dari tempat dudukku yang baru.
Aku bisa lebih jelas melihat penampilan Live Music yang
tampil di panggung.
Tempat ini semakin ramai oleh pengunjung.
Aku bangkit dari kursiku. Menyeruput sisa kopi yang
dingin karena kudiamkan sedari tadi.
Meninggalkan tempat ini.
Semoga kelak, aku juga bisa meninggalkan bayanganmu.
Tuan,
semoga bukan lagi dirimu.
Tyas
Hanina
(Aku
berharap ini kisah fiksi.
Sayangnya,
harapan tidak selalu sejalan dengan kenyataan.
Kumohon,
jangan tanyakan lagi tentang hal ini.)