Dear, Bulan.
How’s your nights?
Malam ini kau hanya menampakkan separuh dari tubuhmu.
Awan hitam menyembunyikan separuh bagian atasmu.
Tapi tak mengapa indahmu tetap terasa.
Sesuatu yang indah, meskipun ditutupi baik secara sengaja
atau tidak sengaja tetap saja indah kan?
Ah, sungguh aku tidak bercanda. Sungguh aku bersungguh.
Sudah cukup lama aku tidak memandangimu dari balik jendela
ruang kerjaku.
Akhir-akhir ini aku lebih sering mengurung diri di kamar.
Sinarmu terhalang oleh tembok kamarku.
Tapi, aku tau kau ada di sana.
Dan selalu ada di
sana.
Ada seseorang yang mengatakan (aku lupa siapa tepatnya),
“Matahari menyaksikan tubuhmu. Tapi rembulan mengerti
jiwamu.”
Aku tau bahwa itu benar. Setidaknya jiwaku merasakan begitu.
Ada sesuatu di dalam gelap malam. Dan kesunyiannya.
Yang mampu menenangkan gaduhnya pikiranku.
Yang mampu melepaskannya secara perlahan.
Entah lewat tulisan. Ataupun perbincangan kepada diri
sendiri.
Sehingga tak seorangpun mendengar.
Kecuali dirimu,
Kau tak hanya mendengarkan. Kau juga paham.
Ah, terimakasih untuk itu. Untuk kehadiranmu.
Maaf aku belum pernah berterimakasih akan hal itu.
...
Bulan, kau tau kan? Kau menyaksikannya secara langsung kan?
Sesuatu yang tak dapat kupublikasikan ataupun bicarakan
kepada orang lain, yang terjadi malam ini.
Kejadian yang mungkin biasa saja bagi orang lain.
Tapi memberikan efek yang tidak biasa pada diriku. Kau
mengerti kan?
Entahlah. Aku bingung akan hal itu.
Aku merasa senang, tapi aku pun gusar.
Aku mencoba bersikap biasa saja, tapi senyumku justru
melebar.
Memang bahagia tidak bisa ditutupi. Karena itu aku mencoba
mengendalikannya.
Memang rasa sakit tidak bisa dihindari. Karena itu aku
mencoba mengontrolnya.
Sehingga aku terlihat wajar, setidaknya di depannya.
Penyebabnya
...
Di dunia khayalku. Batas semu antara fantasi dan realita.
Aku pernah membayangkan kejadian ini.
Kejadian yang sederhana, namun luar biasa menyenangkan dan
menyakitkan.
Tapi sungguh, khayalanku yang dibilang orang terlalu tinggi
pun rasanya bukan apa-apa.
Ketika aku harus menghadapi sesuatu yang bernama realita.
Lidahku terasa diikat. Mati rasa. Terbungkam.
Sungguh, aku bersungguh.
Tidak ada yang lebih menyenangkan sekaligus semenyakitkan
ini.
Ketika aku harus menghadapinya di dunia nyata.
...
Bulan,
Malam ini ia menutupnya dengan suatu ucapan yang sangat
sederhana.
Namun lagi-lagi memberikan efek yang tidak biasa.
Selamat malam, katanya.
Dan dia menyuruhku tidur secepatnya.
Dan, Bulan.
Kau mengerti kan?
Seperti apa tepatnya yang aku rasakan?
Karena aku tidak benar-benar mengerti kali ini. Bahkan
perasaanku sendiri.
Sincerely,
Tyas Hanina
P.S
Why is it everytime we say goodnight, it feels like goodbye?