Guten Abend!
Saat jam pelajaran terakhir tadi..
Hujan hampir sampai. Angin dan kawan-kawannya lebih dulu datang.
Angin sibuk mengetuk-ngetuk jendela kelas, langit dengan pekat yang bergelayut manja dan petir yang berteriak-teriak dengan gegap gempita.
Hujan. Adalah cinderamata dari kedatangan bulan Oktober.
Kabar baiknya adalah sekolah dipulangkan lebih awal.
Meskipun hanya lebih cepat 30-45 menit.
Tapi itu cukup untuk membuat saya lebih tenang, setidaknya masih ada harapan terhindar dari hal yang paling saya benci. (Sepatu basah. Beserta kaos kakinya. Melihat jari kaki saya yang mengeriput ketika membuka sepatu, dan aroma kaos kaki yang begitu "wangi".)
...
Setiap melihat hujan, rasanya saya ingin jadi laut. Musim hujan selalu laut sambut dengan suka cita.
Karena hujan, adalah kencan antara laut dan langit. Selama ini mereka saling mencintai.
Saling berbagi warna dari hati masing-masing. Biru dari cerahnya langit, biru dari dalamnya laut.
Keluasan hati mereka bagai ruang tanpa batas.
Kadang mereka terlihat begitu dekat.
Nyatanya jarak begitu nyata. Mengambang diantara keduanya.
Membuat mereka makin mengeratkan genggaman tangan, tak rela melepas kebersamaan.
Karena itulah turun hujan.
Agar langit bisa lebih mudah merengkuh laut.
Agar laut bisa dengan puas mengecup kening langit.
Karenanya, Oktober bagi kami bertiga (Saya, Laut dan Langit) adalah bulan penuh cinta, harapan, dan kebersamaan.
...
Jumat keempat di bulan Oktober ini. Usia saya genap 15 tahun.
Saya harap saya bisa jadi laut, dengan kedalaman fikirannya. Dan kejernihan hatinya.
Tapi kadang saya juga ingin jadi langit, dengan kecerian wajahnya. Dan terangnya perasaannya.
Tahun lalu saat saya masih bersamanya.
Dia bilang saya terlalu sering bercanda. Mungkin saat itu saya sedang jadi langit.
Tapi dia akhir perjalanan kami (Hujan bulan november), dia bilang saya sangat sulit dimengerti. Mungkin saat itu saya menjelma jadi laut paling dalam.
Atau mungkin. Dia hanya tidak sanggup menerka kedalaman fikiran saya, dan saya tidak sanggup menyibak langit abu-abu yang menggantung di hatinya.
Tyas Hanina