“Tubuhku adalah rumahku.”
Pernahkah kamu membayangkan
sebuah bangunan bersikap agresif kepadamu? Sebuah benda yang kamu kira selama
ini mati? Bangunan ini kamu bawa ke mana-mana. Ke selatan, utara, timur, barat
daya. Kamu letakkan ia di posisi mana pun yang kamu hendaki. Kamu tinggal di
dalamnya, berlindung di naungan atapnya.
Tanpa kamu sadari hubunganmu
dengannya bersifat paradoksial. Karena pada saat yang bersamaan, kamu juga
digerakkan olehnya.
Hasratmu, penasaranmu, amarahmu,
girangmu, kecewamu, traumamu. Semua hal yang kamu kenang di dalam kening
menjadi bahan bakar penggeraknya.
-
“Tubuhku adalah hasrat.”
Adalah Juno. Seorang Pria asal
Yogya yang menginspirasiku untuk menulis ini. Juno mengajakku bicara jujur soal
tubuh. Terkadang obrolan kami juga diselingi dengan tarian dan tembang.
Juno bilang padaku, selama ini
kehidupan kita bergantung kepada lubang.
Kita lahir dari lubang yang ada
dalam perangkat tubuh bagian bawah seorang perempuan. Kita melihat warna warni
cemara dari lubang bernama mata. Kita berbicara, bersiul, dan berkokok melalui
lubang yang kita panggil mulut. Kita mampu mendengar gemuruh sungai, percik
api, tembang lawas di radio karena sepasang lubang telinga. Kita membuang
sisa-sisa penghidupan dari lubang yang disebut dubur. Bahkan, kita dapat hidup
karena adanya dua lubang pada hidung!
Bibi Juno yang seorang pedagang
ayam pernah bilang, “Yang namanya hidup itu cuma numpang ngintip urip (kehidupan). Pisah, pindah, mati wis biasa!”
Sejak masih duduk di bangku
sekolah dasar, Juno sudah mengalami tiga babak kehidupan itu. Mungkin memang
biasa saja, toh semua manusia pasti
akan mengalaminya kan? Tapi, kisah
Juno dikemas dengan agak berbeda oleh Garin Nugroho dalam film besutannya
“Kucumbu Tubuh Indahku”.
-
“Puter, buka, tutup.”
Juno sangat pandai menari! Ia
bisa menari dengan selendang, kursi, hingga tumpukan jagung. Salah satu tarian
favoritku adalah ketika Juno menari di atas ring tinju. Gerakannya terlihat
sangat kuat tapi juga lembut di sana.
Titik balik dalam kehidupan Juno
adalah menari. Ceritanya akan sedikit kuringkas; pada suatu hari Juno mengintip
sebuah sanggar tari dan dipertemukan dengan guru menarinya (Sujiwo Tejo).
Ternyata dalam sanggar itu, Juno tidak hanya belajar menggoyangkan pinggul atau
memainkan jemari dalam tarian Lengger yang dilatihnya. Ia juga mengenal darah
dan kekerasan.
Selain lewat tarian, Juno juga
banyak belajar filosofi kehidupan dari para perempuan. Ibunya yang sudah
meninggal telah menganugerahkan nama “Wahyu Juno” kepadanya. Juno konon diambil
dari salah satu tokoh perwayangan yang dikenal kuat dan gagah, Arjuna. Selama
menyandang nama itu, Juno seringkali kelimpungan. Di mana ia bisa mencari
kekuatan yang didoakan Ibunya? Dari mana asal kegagahannya?
Ia menjadi penasaran dengan tubuh
manusia. Ia mulai memerhatikan perempuan, pada lubang kehidupan yang ada pada
dirinya hingga buah dada yang pernah menjadi asupan gizi setiap manusia.
Perempuan yang identik dengan kelembutan ternyata juga menyimpan hasrat dan
bencana. Seperti Istri Bupati yang haus kekuasaan dan rentan akan hidup sepi.
Juga, oleh Bibi-nya lah Juno akhirnya bertemu dengan trauma. Pada tubuh
dan darah. Pada naluri dan jemari.
-
“Itu lubangku bukan lubangmu!”
Dialog itu meninggalkan jejak
berdarah pada Juno. Aku hanya mampu mengintip adegan itu, sembari mendengarkan
dialognya dengan seksama. Saat itu, kami baru tahu bahwa lubang pada tubuh
perempuan ternyata mampu menggerakkan gelagak api amarah yang sedemikian
besarnya.
Tapi, petaka itu bukan bersumber
dari lubang itu. Melainkan, rasa kepemilikan atas tubuh seseorang oleh orang
lain.
Selama perjalanan hidup yang
mengharuskan Juno berpindah-pindah, ia berusaha mendefinisikan kembali kepemilikan
tubuhnya. Pelajaran menari yang didapatkannya di sanggar dilanjutkannya kembali
pada satu pertemuan dengan kelompok penari lengger lanang yang lain. Kesenian lintas
gender ini cukup tersohor di Jawa. Leng (lubang) + ger (jengger ayam), definisi
itu didapatkan Juno oleh guru menari sebelumnya. Juno perlahan melepaskan garis
pembatas antara maskulinitas dan feminitas ketika menari lengger. Dikutip dari tirto.id, kata lengger sendiri kemudian
merujuk kepada pemaknaan “disangka perempuan, ternyata lelaki”.
Juno memiliki konstelasi hubungan
yang rumit dengan lelaki.
Sang Ayah memberikannya contoh
nyata trauma tubuh di suatu sungai, ia juga mengajari Juno apa itu kesepian.
Juno kecil pun menjadi orangtua bagi dirinya sendiri. Serangkaian kegiatan
rumah tangga yang dilakukannya dipercaya sebagai latihan menarinya sejak dini. “Alam
yang mengajariku,” ujarnya. Guru-guru yang ia temui memintanya untuk berdiri
tegak dan tampil kuat dengan hardikan dan kecaman. Singkatnya, Juno banyak diajari
tentang kekerasan oleh beberapa lelaki.
Di lain sisi, ada satu-dua tokoh
lelaki yang menyentuhnya dengan lembut. Dengan kecup dan peluk, dengan janji
dan amunisi. Muatan unsur seksualitas dan gender memang cukup kental dalam film
ini. Tetapi ditampilkan dengan begitu halus, tidak ada adegan yang kelewat
vulgar (dari salah satu ulasan yang kubaca, ada beberapa adegan yang disensor
dengan cara di-zoom-in, tapi masih nyaman ditonton). Juno dan beberapa tokoh
ini lebih banyak saling melempar lirikan dan senyum yang ditahan.
-
“Tubuhmu membawa kehidupanmu. Kamu harus menjaganya.”
Di
penghujung film, aku merasakan perkembangan karakter dari Juno. Ketika
mengalami perpindahan yang keempat kali, tidak ada lagi tatapan nestapa
darinya, Juno justru menyikapinya dengan tersenyum. Alunan musik dari
radio yang menjadi temannya sejak kecil mendendangkan lagu ceria, “selama roda masih berputar, kehidupan masih berjalan”, aku lupa liriknya tapi kira-kira seperti itu. Layar ditutup dengan nuansa yang positif.
Aku
tidak tahu kelanjutan kabar Juno setelahnya. Aku harap, Juno akhirnya
menjalin hubungan yang sehat dengan tubuhnya. Obrolan ku dengannya
selama 1 jam 45 menit cukup menyita perhatianku hingga aku merasa tidak
sabar untuk menceritakannya kembali kepada kalian.
Aku
bertemu dengan tiga sosok Juno dalam film ini, kecil-remaja-dewasa.
Ketiganya memerankan Juno dengan cukup baik, lewat akting yang wajar dan
dialog tubuh yang indah. Faktor pendukung seperti pemeran lain, latar
lagu, dan pengambilan gambar pun membangun cerita dengan sama baiknya.
Kisah
Juno tentang pergumulannya dengan tubuhnya sendiri ini bisa kamu
saksikan di bioskop mulai tanggal 18 April. Film yang mengambil latar
politik orde baru ini mendapat apresiasi tinggi di beberapa festival
film di luar negeri dengan meraih 2 kemenangan dan 4 nominasi.
Meski
tidak bisa memberikan trofi kemenangan kepada Garin dkk atas produksi
filmnya, aku yakin tubuhku akan mengingat pengalaman menonton ini.
P.S
Juno, percayalah kekuatan tidak melulu
berelasi dengan kekerasan.
Lembutnya hati dan jemari adalah salah satu bentuknya.
Tyas Hanina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar