Pages

Jumat, 19 April 2019

Tubuh Adalah Perjalanan (Review ‘Kucumbu Tubuh Indahku’)


“Tubuhku adalah rumahku.”

Pernahkah kamu membayangkan sebuah bangunan bersikap agresif kepadamu? Sebuah benda yang kamu kira selama ini mati? Bangunan ini kamu bawa ke mana-mana. Ke selatan, utara, timur, barat daya. Kamu letakkan ia di posisi mana pun yang kamu hendaki. Kamu tinggal di dalamnya, berlindung di naungan atapnya.
Tanpa kamu sadari hubunganmu dengannya bersifat paradoksial. Karena pada saat yang bersamaan, kamu juga digerakkan olehnya.
Hasratmu, penasaranmu, amarahmu, girangmu, kecewamu, traumamu. Semua hal yang kamu kenang di dalam kening menjadi bahan bakar penggeraknya.

-
“Tubuhku adalah hasrat.”

Adalah Juno. Seorang Pria asal Yogya yang menginspirasiku untuk menulis ini. Juno mengajakku bicara jujur soal tubuh. Terkadang obrolan kami juga diselingi dengan tarian dan tembang.
Juno bilang padaku, selama ini kehidupan kita bergantung kepada lubang.
Kita lahir dari lubang yang ada dalam perangkat tubuh bagian bawah seorang perempuan. Kita melihat warna warni cemara dari lubang bernama mata. Kita berbicara, bersiul, dan berkokok melalui lubang yang kita panggil mulut. Kita mampu mendengar gemuruh sungai, percik api, tembang lawas di radio karena sepasang lubang telinga. Kita membuang sisa-sisa penghidupan dari lubang yang disebut dubur. Bahkan, kita dapat hidup karena adanya dua lubang pada hidung!
Bibi Juno yang seorang pedagang ayam pernah bilang, “Yang namanya hidup itu cuma numpang ngintip urip (kehidupan). Pisah, pindah, mati wis biasa!”
Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Juno sudah mengalami tiga babak kehidupan itu. Mungkin memang biasa saja, toh semua manusia pasti akan mengalaminya kan? Tapi, kisah Juno dikemas dengan agak berbeda oleh Garin Nugroho dalam film besutannya “Kucumbu Tubuh Indahku”.
-
“Puter, buka, tutup.”

Juno sangat pandai menari! Ia bisa menari dengan selendang, kursi, hingga tumpukan jagung. Salah satu tarian favoritku adalah ketika Juno menari di atas ring tinju. Gerakannya terlihat sangat kuat tapi juga lembut di sana.
Titik balik dalam kehidupan Juno adalah menari. Ceritanya akan sedikit kuringkas; pada suatu hari Juno mengintip sebuah sanggar tari dan dipertemukan dengan guru menarinya (Sujiwo Tejo). Ternyata dalam sanggar itu, Juno tidak hanya belajar menggoyangkan pinggul atau memainkan jemari dalam tarian Lengger yang dilatihnya. Ia juga mengenal darah dan kekerasan.
Selain lewat tarian, Juno juga banyak belajar filosofi kehidupan dari para perempuan. Ibunya yang sudah meninggal telah menganugerahkan nama “Wahyu Juno” kepadanya. Juno konon diambil dari salah satu tokoh perwayangan yang dikenal kuat dan gagah, Arjuna. Selama menyandang nama itu, Juno seringkali kelimpungan. Di mana ia bisa mencari kekuatan yang didoakan Ibunya? Dari mana asal kegagahannya?
Ia menjadi penasaran dengan tubuh manusia. Ia mulai memerhatikan perempuan, pada lubang kehidupan yang ada pada dirinya hingga buah dada yang pernah menjadi asupan gizi setiap manusia. Perempuan yang identik dengan kelembutan ternyata juga menyimpan hasrat dan bencana. Seperti Istri Bupati yang haus kekuasaan dan rentan akan hidup sepi. Juga, oleh Bibi-nya lah Juno akhirnya bertemu dengan trauma. Pada tubuh dan darah. Pada naluri dan jemari.
-
“Itu lubangku bukan lubangmu!”

Dialog itu meninggalkan jejak berdarah pada Juno. Aku hanya mampu mengintip adegan itu, sembari mendengarkan dialognya dengan seksama. Saat itu, kami baru tahu bahwa lubang pada tubuh perempuan ternyata mampu menggerakkan gelagak api amarah yang sedemikian besarnya.
Tapi, petaka itu bukan bersumber dari lubang itu. Melainkan, rasa kepemilikan atas tubuh seseorang oleh orang lain.
Selama perjalanan hidup yang mengharuskan Juno berpindah-pindah, ia berusaha mendefinisikan kembali kepemilikan tubuhnya. Pelajaran menari yang didapatkannya di sanggar dilanjutkannya kembali pada satu pertemuan dengan kelompok penari lengger lanang yang lain. Kesenian lintas gender ini cukup tersohor di Jawa. Leng (lubang) + ger (jengger ayam), definisi itu didapatkan Juno oleh guru menari sebelumnya. Juno perlahan melepaskan garis pembatas antara maskulinitas dan feminitas ketika menari lengger. Dikutip dari tirto.id, kata lengger sendiri kemudian merujuk kepada pemaknaan “disangka perempuan, ternyata lelaki”.
Juno memiliki konstelasi hubungan yang rumit dengan lelaki.
Sang Ayah memberikannya contoh nyata trauma tubuh di suatu sungai, ia juga mengajari Juno apa itu kesepian. Juno kecil pun menjadi orangtua bagi dirinya sendiri. Serangkaian kegiatan rumah tangga yang dilakukannya dipercaya sebagai latihan menarinya sejak dini. “Alam yang mengajariku,” ujarnya. Guru-guru yang ia temui memintanya untuk berdiri tegak dan tampil kuat dengan hardikan dan kecaman. Singkatnya, Juno banyak diajari tentang kekerasan oleh beberapa lelaki.
Di lain sisi, ada satu-dua tokoh lelaki yang menyentuhnya dengan lembut. Dengan kecup dan peluk, dengan janji dan amunisi. Muatan unsur seksualitas dan gender memang cukup kental dalam film ini. Tetapi ditampilkan dengan begitu halus, tidak ada adegan yang kelewat vulgar (dari salah satu ulasan yang kubaca, ada beberapa adegan yang disensor dengan cara di-zoom-in, tapi masih nyaman ditonton). Juno dan beberapa tokoh ini lebih banyak saling melempar lirikan dan senyum yang ditahan.
-
“Tubuhmu membawa kehidupanmu. Kamu harus menjaganya.”


Di penghujung film, aku merasakan perkembangan karakter dari Juno. Ketika mengalami perpindahan yang keempat kali, tidak ada lagi tatapan nestapa darinya, Juno justru menyikapinya dengan tersenyum. Alunan musik dari radio yang menjadi temannya sejak kecil mendendangkan lagu ceria, “selama roda masih berputar, kehidupan masih berjalan”, aku lupa liriknya tapi kira-kira seperti itu. Layar ditutup dengan nuansa yang positif.
Aku tidak tahu kelanjutan kabar Juno setelahnya. Aku harap, Juno akhirnya menjalin hubungan yang sehat dengan tubuhnya. Obrolan ku dengannya selama 1 jam 45 menit cukup menyita perhatianku hingga aku merasa tidak sabar untuk menceritakannya kembali kepada kalian.
Aku bertemu dengan tiga sosok Juno dalam film ini, kecil-remaja-dewasa. Ketiganya memerankan Juno dengan cukup baik, lewat akting yang wajar dan dialog tubuh yang indah. Faktor pendukung seperti pemeran lain, latar lagu, dan pengambilan gambar pun membangun cerita dengan sama baiknya.
Kisah Juno tentang pergumulannya dengan tubuhnya sendiri ini bisa kamu saksikan di bioskop mulai tanggal 18 April. Film yang mengambil latar politik orde baru ini mendapat apresiasi tinggi di beberapa festival film di luar negeri dengan meraih 2 kemenangan dan 4 nominasi.
Meski tidak bisa memberikan trofi kemenangan kepada Garin dkk atas produksi filmnya, aku yakin tubuhku akan mengingat pengalaman menonton ini.






P.S
Juno, percayalah kekuatan tidak melulu berelasi dengan kekerasan.
Lembutnya hati dan jemari adalah salah satu bentuknya.




Tyas Hanina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar