Pages

Minggu, 27 Juli 2014

Are you satisfied? Are you sad inside?

One Chance
POV : Him
Dua hari setelah hari pernikahan Dyo. Gue pulang, ke tempat di mana gue seharusnya berada.
Nyokap protes dengan kepulangan gue yang katanya terlalu mendadak. Dia protes dengan penggunaan kata pulang yang gue pakai, dia bilang :
“Kamu mau pulang ke mana? Di sini rumah kamu. Ibu, rumah kamu.”
Serasa ada tamparan di pipi ketika mendengarnya. Tentu, tentu selamanya akan begitu. Sejauh mana pun gue melangkah, kepada Ibu lah gue pasti kembali.
Tapi, maksud gue mengucapkan kata pulang adalah untuk menghindari kata pergi.
Gue pulang ke sana bukan berarti gue gak bakal kembali ke sini kan?
Gue benci mendengar kata pergi, terlebih lagi menggunakannya. Terlebih lagi melakukannya.

Meski Ibu tidak mengerti sepenuhnya keputusan gue untuk “pulang”, tapi dia tetap bersedia mengantar gue ke bandar udara. Membekali gue dengan makanan, nasihat dan saran-saran.
“Kamu gak bisa terus-terusan melarikan diri. Tempat kamu di sini.”
“Melarikan diri? Aku gak kabur dari apapun Bu.”
“Pulang ke sini lagi. Jangan lupa ama Ibu.”
Katanya, ketika gue mencium telapak tangannya sebagai ucapan perpisahan.
“Pasti aku gak akan lupa sama Ibu.”
“Jangan lupa pulang ke sini.”
Ulangnya.
“Aku pasti pulang ke sini, Ibu.”

...

Gue selalu suka suasana di sini, di bandar udara. Ataupun di tempat-tempat sejenisnya, seperti stasiun kereta api, terminal bus, pelabuhan dan lain sebagainya.
Tempat di mana seseorang berangkat ke suatu tempat, atau pulang kembali.
Tempat di mana seseorang harus melepas akar-akar di kakinya yang melekat di bawah kota kelahirannya, tempat di mana seseorang yang lainnya harus melepas doa dan rasa rela melepas kesayangannya.

Gue suka mengamati orang-orang, dan di tempat seperti ini gue ketemu banyak orang yang menarik untuk gue amati.
Kadang, gue beranikan diri untuk membuka obrolan dengan mereka.
Atau kadang, gue hanya berani untuk membuat cerita tentang mereka di kepala gue.

Hari ini, di ruang tunggu bandar udara.
Gue mengamati sepasang kekasih yang duduk di depan gue. Tangan mereka saling menggandeng. Di tangan kiri sang perempuan tergenggam erat sebuah peta dunia. Di tangan kanan sang laki-laki, ada dua buah paspor negara. Di samping kaki mereka terdapat dua buah ransel besar.
Dugaan gue, pasangan ini sudah bersama dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga bisa saling percaya untuk pergi berdua bersama ke suatu tempat baru. Dan sepertinya, ini trip berdua mereka yang pertama kali. Terlihat dari antusiasme di wajah mereka, dan genggaman erat tangan mereka pada peta dunia dan paspor mereka berdua.

Pengalaman gue mengajarkan, salah satu cara terbaik untuk mengetahui pribadi seseorang yang sebenarnya adalah dengan berpergian bersama dengannya.
Selama perjalanan, tidak hanya hal menyenangkan yang menunggu. Banyak tanggung jawab dan kejadian mengejutkan yang ikut menanti.
Semoga, pasangan ini sama-sama bisa menikmati perjalanan mereka berdua.

Tapi, di lain sisi. Ada rasa ngeri dengan cerita mereka yang gue buat di kepala gue sendiri.
Tentu akan banyak memori yang tercipta selama perjalanan.
Bagaimana jika suatu hari mereka berpisah?
Tentu tidak mudah melepas satu persatu kenangan yang mengikat mereka.
Di setiap tempat yang pernah mereka datangi berdua, akan ada kenangan yang menunggu di sana. Di setiap lagu yang pernah mereka senandungkan berdua, akan ada luka yang menunggu di dengarkan. Di setiap potret diri berdua, akan ada rindu yang menunggu di lihat.
Bagaimana cara mereka bisa melepas semua itu?

Selama gue sama Dia,
Tidak banyak tempat yang kami kunjungi. Dia kurang suka berpergian, tapi suka berlama-lama di suatu tempat kesukaannya.
Tidak banyak lagu yang kami senandungkan bersama. Dia sangat pemalu, dia seringkali menyembunyikan suaranya. Tapi, ada beberapa mixtape berisi kumpulan lagu yang gue buat untuknya.
Tidak banyak potret diri kami yang tercipta. Meski hubungan kami bisa  terbilang lama. Dia kurang suka difoto, gue suka mengerjai dia dengan cara memfotonya diam-diam.

Tapi, segala kenangan juga luka masih susah gue lepaskan dari diri gue. Bahkan hingga saat ini. Ah, sial gue jadi rindu.

Ketika kali terakhir kami bertemu, gue gak tau apa yang mengontrol diri gue sepenuhnya saat itu. Gue tidak bisa menahan senyuman gue, tapi ada rasa nyeri dan gengsi untuk menyapa terlebih dulu.
Gue membuang pandangan gue ke jendela, diam-diam berharap dia masih memandangi gue.
Meski begitu, gue tetap mencoba bersikap biasa saja. Meminum kopi hitam di meja, untuk menghentikan lidah gue yang ingin menyapa. Mengajak ngobrol Dyo kembali, untuk segera lupa akan segala rentetan pertanyaan yang ingin gue tanyakan ke dia.
Gue ingin biasa aja. Gue gak ingin membenci wanita yang dulu pernah buat gue bangga, gue gak bisa. Gue juga gak pengen terus menerus menyayangi wanita ini kaya dulu, dan gak pernah bisa berbalik membuat dia merasakan hal yang sama.
Selama kami bersama, gue memberi dia banyak kesempatan untuk mencoba jatuh cinta kepada gue. Gue memberi lebih banyak kesempatan lagi kepada diri sendiri, untuk mempertahankan dia- untuk mempertahankan kita.
But,
She only get one chance to break my heart.

Ah, jadi melankolis kan gue.

Suara pengumuman keberangkatan pesawat yang akan gue naiki terdengar. Gue bangkit dari kursi, memakai tas gue. Menggenggam erat paspor gue.
Memberikan senyuman gue kepada dua pasang muda mudi yang sedang saling jatuh hati di depan gue. Rasa terima kasih, karena mereka sudah mengingatkan gue akan dia, terima kasih karena setelah mengingatnya. Gue semakin yakin.

Gue melangkah pasti.
Gue gak sedang melarikan diri.
Gue sedang memulai hidup gue yang baru.
Sehingga, ketika gue pulang kembali ke kota ini. Gak akan lagi ada jejak pahit dan rasa sakit di hati.

...

Dear Him, are you sad inside?

...

Salt Water
POV : Her

They're all these and those, nothing
I don't care
It's okay
I'm used to being alone myself
I was so cold
I was so emotionless
These days I'm a bit strange
I was so greedy
I was so selfish
But I started to let myself go little by little
I get everything I've wanted
 
But I can't have what I need
(Taeyang – Let Go)
...

Gue mengusap keringat yang mengalir di kening gue dengan handuk yang diberikannya.
“Masih kuat?”
Tanya Rama, Bos Gue.
Gue mengangkat bahu, mengambil ancang-ancang untuk berlari lagi.
Tapi, untuk berdiri aja gue gak sanggup. Untungnya, ada Rama. Dia segera menjadi tumpuan buat gue.
“Udah jangan paksain diri sendiri.”
“I’m okay.”
“I know you’re not.”

Gue mengalah kepada diri gue sendiri. Baiklah istirahat untuk beberapa lama, tidak akan berarti apa-apa.
Gue duduk di kursi taman. Tiba-tiba ada sensasi dingin di pipi gue.
Rupanya, Rama menempelkan air mineral dingin.
Gue membisikkan kata terima kasih. Dia duduk di samping gue.

Selama beberapa lama kami hanya duduk diam.
“Kenapa...”
“Hah?”
Rama menarik nafas sebelum melanjutkan pertanyaannya.
“Kenapa pilih lari? Dari sekian banyak olahraga?”
“Gue payah di bidang ini Ram, gue gak suka olahraga beregu. Cuma lari yang gue bisa dari kecil.”
“biasa kabur dari nyokap ya pas kecil?”
“Hahaha kan waktu dulu mah mainnya emang lari-larian.”
Lalu kami larut dengan pembicaraan tentang permainan masa kecil. Seperti galaksin, petak umpet, tapak gunung, batu tujuh, polisi maling, dan lain-lainnya.

“Bagus sih olahraga. Tapi gak bagus jadinya kalo lo maksain diri kaya gini.”
“Gue gak maksa...”
“Kenapa harus lari coba? Mau belajar lari dari masa lalu ya? Hahahaha.”
Rama tertawa begitu puas.
Dan raut muka gue bias.

Karena gue tidak menanggapi omongannya (untuk kesekian kalinya hari itu). Dia sepertinya mulai lelah, dan memutuskan untuk menyerah.
Tiba-tiba, jidat gue basah oleh sesuatu.
Hujan gerimis turun.
Orang-orang yang berolahraga di taman dan melakukan aktivitas lainnya segera berlarian ke sana ke mari mencari tempat berteduh.
Rama menarik tangan gue, mengajak gue pergi untuk menghindari hujan.
Gue menggeleng.
“Kenapa lagi sih yas?”
Ada rasa putus asa yang terdengar dari pertanyaannya.
“Ya gapapa.”
“...”

Dia duduk kembali di samping gue. Gue memandangnya heran.
“Kalo mau sakit jangan sendirian. Gue temenin.”
Gue tertawa mendengar kalimatnya, yang maksa.
“Sana neduh.” Gue mendorong bahunya pelan.
“Sama lu tapi.”
“Dih ogah.”
“...”

“Lo suka hujan ya?”
Pertanyaannya membenturkan gue ke kenangan lama. Seseorang pernah bertanya hal yang serupa pada suatu waktu.
Gue hanya mengangguk, tidak bisa menahan senyuman.
“Kenapa?”
“...”

Hujan semakin deras. Mungkin orang-orang yang berteduh memandang kami sebagai dua orang yang tidak waras.
Gue tidak menjawab pertanyaan Rama. Dan berbalik mengajaknya pergi.
“Ram? Hujannya makin deras.. Ke laut yuk?”
“Lo sakit ya yas? Ujan gini kok ke laut.”
“Gue belom pernah liat ujan di laut.”
“Gue juga. Tapi kan....”
“Kenapa?”
“Kenapa lo mau liat hujan di lautan?”
“I want to wash away all of my pain."

...
"The cure for anything is salt water - sweat, tears, or the sea."
Isak Dinesen
...

Dear Her, Are you satisfied?

...

(Cerita ini adalah lanjutan dari "Is This Love?" dan "Are you happy, My Dear?")


Tyas Hanina

Are you happy, My Dear?

I’ve hurt myself by hurting you.
POV : Her

“I should have loved myself with the love I gave to you.”

Dia membisikkan kalimat itu pelan di telinga, sebelum dia meninggalkan gue sendiri di kafe ini.
Dia tetep senyum mengucapkan kalimat itu, walau gue tau jauh di dalam hatinya dia sama sekali gak bisa senyum. Senyum dia itu kaya tato permanen di wajahnya. Selalu ada di sana setiap kali gue menengoknya.
Ah entahlah. Emang dasarnya gue brengsek.
Udah patahin hati dia, tapi tetep coba pertahanin dia di dalam hati.
Gue bilang di surat dia gak boleh pertahanin orang kaya gue, and that’s true.
Tapi sebenernya yang gue rasain, kebalikannya dari itu.

Setelah dia selesai membaca surat yang gue tulis untuknya. Dia tersenyum, entah untuk apa. Tapi pandangannya kosong. Kilatan yang biasa ada di matanya berbeda, sepertinya kali ini air mata yang ia tahan.
Sedangkan gue, gak bisa tahan lagi-lagi buat mengontrol diri gue.
Air mata gue turun tanpa bisa gue cegah. Gue ngerasa sangat bersalah. Gue sadar betapa hal yang gue lakuin sangatlah bodoh.
Dia duduk kaku di kursinya, masih tersenyum. Pandangannya menatap langit-langit kafe. Mulutnya terbuka, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi dia telan kembali.
Jujur, saat itu pun gak sanggup denger apapun dari bibir dia.
Gue hanya sanggup berulang kali mengucapkan kata maaf.
Itupun sangat pelan. Entahlah dia mendengarkan gue atau tidak.
Yang jelas, gue sadar pasti. Gue sangat menyakitinya.

Dan sakit rasanya, menyadari bahwa sejak itu semuanya tak lagi sama.
Dia gak berusaha untuk menghentikan tangisan gue. Dia gak berusaha menghibur gue.
Gak ada lagi jokes garing yang keluar dari mulutnya, gak ada lagi sapuan air mata dari jemarinya, gak ada lagi pelukan hangat darinya.
Gak ada.

Dan lebih sakit lagi, menyadari bahwa gue gak bisa berbuat apa-apa setelah apa yang gue lakuin ke dia.
Gue mau meluk dia. Tapi seakan gue duduk melekat di kursi gue.
Di lain sisi, gue takut sentuhan gue semakin menyakitinya.

Hingga akhirnya, ia bangkit di kursinya. Menghela nafas pelan.
Memeluk gue untuk waktu yang sangat sebentar. Seakan dia ingin segera melepaskannya. Ingin segera melepas gue.
Membisikkan kalimat itu. Kalau seharusnya dia bisa menyayangi dirinya sebagaimana dia sudah memberikan rasa sayangnya kepada gue.
Dan gue hanya bisa memegang tangannya, untuk waktu yang tidak lama. Menatap matanya yang kini tidak lagi sama kilatannya, menatap senyumnya yang berbeda. Dengan butiran air mata yang gak bisa gue hentikan, gue mengucapkan kalimat perpisahan.
“i wish you well.”

...

Irony.
POV : Him

“I wish you well.”

She said.
Gue meringis mengingat ucapannya. Ah, the irony.

You wish me well?
I wish you hell.

...

Are you happy, my dear?
POV : Her

Hari ini kami gak sengaja bertemu. Seminggu setelah kejadian itu.
Dia terlihat baik-baik saja, setidaknya di luarnya.
Gue cukup lega melihatnya. Tapi tetap saja terasa ada yang kurang.

Can’t nobody do it like you say every little thing you do.

Ngeliat dia main basket bareng temen-temennya tadi, ketawa-ketawa kaya biasa.
Gue diam-diam berharap, setelahnya dia akan kembali bercerita bagaimana ia lalui harinya.
Gue pengen denger keluhan dia tentang teriknya matahari hari ini. Gue pengen denger ledekan dia tentang gue yang gak bisa olahraga.
Gue pengen denger apapun dari bibir dia. Bahkan, kalau cacian buat gue yang dia ucapkan.
Ya, gue pantas kok mendapatkannya.

Tapi boro-boro cacian.
Bahkan pandangan mata pun dia lemparkan ketika pandangan kami gak sengaja bertemu.
Ya.. Meski menyakitkan. But i know that i deserve this.... shit.

...

Do you remember the song that was playing the night we meet?
POV : Him

Thanks to her.
Setidaknya, rasa sakit gue bisa jadi karya. Gue berhasil bikin beberapa lagu dari kejadian itu.

Waktu vokalis band gue baca liriknya. Dia langsung meluk gue.
Tentu saja gue ngelak, gila sesakit apapun hati gue... gue masih demen cewek sih.

“Gila. You deserve better man.”

Ternyata dia meluk karena simpati.
Gue ketawain aja. Abis gue gak tau mau respon apa lagi. Gue benci dikasihanin.

Dan sialnya. Tiba-tiba sepotong lirik lagu mengalir dari mulutnya.

They say love is blind. Oh baby you so blind.”
“Sialan lo.”
“Lah napa. Gua cuma nyanyi lagu GD.”
“Manggil-manggil gue baby segala.”

Dia nyengir, memamerkan gigi berpagarnya.

“Tapi serius deh gue mau nanya ama lu..”
“Apaan lagi sik.”

Dia membaca sekali lagi lirik lagu yang gue tulis. Menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Lo tuh, masa sih? Dari dulu gak sadar?”
Gue cuma membalas pertanyaannya dengan tersenyum. Meski gue gak tau senyum untuk apa.
Meski dalem hati, gue udah misuh-misuh.

Ya gue gak sebuta itu kali.
Gue sadar kok. Gimana dia sama gue.
Iya gue buta. Masih coba pertahanin hubungan itu, meski akhirnya orang yang gue pertahanin gak ngebolehin gue pertahanin dia sih.
Tapi, gue juga sadar. Dia sudah mencoba untuk membalasnya selama hubungan kami yang cukup lama.
Gue juga sadar, bukan hanya gue yang sakit. Dia juga.
Harus boong sama perasaannya sendiri, selama ini.

Haha.
Apa kabar ya dia?

She's a silver lining, lone ranger riding
Through an open space
In my mind when she's not right there beside me
I go crazy 'cause here isn't where I want to be
And satisfaction feels like a distant memory
And I can't help myself
All I want to hear her say is
"Are you mine?"
...

We were wrong to stay this long.
POV : Her

Gue membuka pintu kamar gue. Melihat kasur di ujung ruangan, membuat gue merasa sangat lega.
HHHH gila gak tau berapa kali hari ini gue misuh-misuh dalam hati.
Capek banget, ngadepin pengunjung di  Kafe tadi. Emang cuma 1, tapi cukup untuk ngebunuh mood gue seharian.
Gue gak yakin apakah semua orang ngerti apa yang gue rasain.
Awalnya gue biasa aja, gue emang menyadari kehadirannya setiap hari. Duduk di bangku yang sama. Selalu memesan menu yang sama. Memberikan tip dengan jumlah yang sama. Dan pandangan tajam yang sama, ke arah gue.
Lalu semakin lama dia semakin berani. Atau yang gue sebut kurang ajar.
Menunggu shift kerja gue selesai, membuntuti gue pulang ke rumah.
Memberikan tip lebih ke pelayan untuk memberikan nomor telepon gue.
Dan tadi. Apaan coba maksudnya pake acara nyatain perasaannya ke gue?? Diliput kamera segala??
Dari awal gue gak pernah ngerespon. Gak ada lampu merah untuk dia stop, lampu kuning untuk hati-hati, apalagi lampu hijau untuk terus jalan. Dari awal, gue udah ngasih tembok.

Tapi, untungnya emang ekspresi gue selalu datar.jpeg, jadi orang gak bisa baca emosi gue. Atau justru malah keliatan banget ya?
Gue gak memberi respon apa-apa selama kejadian itu. Tetap meracik kopi, menghidangkannya di cangkir. Seakan tuli dan buta akan kejadian sekitar. Gue hanya gak peduli.
Begitu orang-orang selesai tepuk tangan dan riuh rendah suasana kafe menjadi hening karena gue gak ngerespon sama sekali.
Gue mengahampiri Bos gue, meminta izin pulang. Dan melengos keluar begitu saja.
Gue tidak memberi respon sebagai respon gue.

RRRR.
Ponsel gue bergetar di saku celana. Dengan malas gue mengangkat telepon, dari Bos gue. Gila gak abis-abis ya urusan kerjaan?

“Halo?”
“Ya.”
“Udah nyampe lo?”
“Yaaa.”
Ada suara tawa di seberang telepon
“Masih emosi gara-gara tadi?”
Gue mengangkat bahu, lalu sadar bahwa dia gak bisa liat gue saat ini.
“Hmm. Ya gitu deh.”
“Sorry ya gue gak nyegah kejadian tadi.”
“It’s okay.”
“I know you're not.”
“...”

Dari mana dia tau. Atau mungkin dia hanya sok tau.
“Sorry gue gak nganterin lo pulang. Malah ngebiarin lo pergi gitu aja.”
“It’s okaaay.”
“Sorry yaaaaa.”
“Ngomong sorry sekali lagi gue matiin ya teleponnya.”
“....”
“Makasih tadi udah ngebiarin gue pulang duluan sebelum shift gue selesai.”
“Ya kayanya cuma itu yang bisa gue lakuin buat lo tadi?”

Gue tertawa mengiyakan. Berterima kasih lagi di dalam hati.
Gue menaruh ponsel di samping bantal gue, menyetel mode speaker.
“Eh, gue mau minta tolong deh?”
“Apa?”
“Besok bawa CD Adhitia Sofyan ya, keknya asik buat disetel di Kafe.”
“Ya okedeh.”
“Cek dulu ada gak CDnya.”
“Ya nanti ya.”
“Sekarang. Atau gaji kamu saya potong.”

Gue cukup kaget mendengar ucapannya. Tumben si Bos berlagak kayak Bos beneran.
Mana ancemannya gitu lagi.

“HAHAHAHAHAHHAHA. BERCANDA.”

Gak lucu. Kenapa juga ketawanya sepanjang gitu? Gue heran banget sama orang ini.
Gue bangkit dari ranjang gue, berjalan dengan langkah lunglai ke meja belajar. Ke tempat rak CD berada.

“HOOOY MARAH YA?”

Gue membalas teriakannya di telepon dengan teriakan juga.

“Saya lagi nyari CDnya BOS!”

Lalu, terdengar suara tawa berderai di telepon. Dia mengucapkan suatu kalimat, tapi gue abaikan.
Gue fokus dengan rak CD gue yang acak-acakan, gak berurutan isinya. Sejak 3 tahun lalu, gue membiarkannya begini.
Dulu sangat lain keadaannya, tiap bulan gue mengaturnya sesuai urutan. Kadang sesuai nama, kadang sesuai genre.
Tapi entahlah, rasanya sejak 3 tahun lalu gue jadi terbiasa untuk asal mengambil CD dan mengshuffle lagunya. Gue gak pengen tau lagu apa yang gue dengerin, gue ingin kejutan darinya.
Selalu ada satu kenangan di setiap lagu. Menantang rasanya, teringat suatu kejadian tertentu secara acak.

Ah.
Lagi-lagi, gue dikejutkan oleh kenangan.
Yang kali ini gue temukan di selipan rak CD.

Sial.
Udah berapa lama, gue gak muter CD ini. Bahkan hampir lupa keberadaannya.
Gimana bisa gue tetep inget urutan lagunya, tetep inget siapa aja penyanyinya. Tetep inget siapa yang memberikan CD tersebut dan apa tujuannya.



Dan, justru sedih yang gue rasakan ketika melihatnnya.
Apa gue harus memainkan CD itu lagi?

“OOOY OOOY UDAH KETEMU BELOM CDNYA?”
Teriakan dari si Bos di telepon menyadarkan gue.

“Ketemu. Tapi ada yang ilang nih rasanya bos.”

...

Forever? It just over.
POV : Him
26 October 2014

I guess what I'm trying to say is
I need the deep end,
I keep imagining meeting
Wished away entire lifetimes
Unfair we're not somewhere
misbehaving for days
Great escape
Lost track of time and space
She's a silver lining
climbing on my desire

Lo tau perasaan ketika lo harus meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup lo?

Buat gue itu berat. Seakan kaki gue sudah mengakar di bawah tanah kota ini.
Akar-akar di bawah kaki gue itu sudah gue pangkas habis tiga tahun lalu. Pertama kali, gue berangkat ke Vienna, dengan modal tabungan gue selama ini dan modal nekat juga sih. Tapi rasanya worth it, karena ini sudah lama menjadi bagian dalam bucket list gue. Dan dia.
Semenjak itu gue jadi terbiasa pergi sendirian. Kadang, gue “pulang” ke kota ini untuk beberapa lama. Mengunjungi keluarga dan beberapa orang teman. Tapi gue gak pernah ketemu dia, dan emang itu yang gue mau.
Lama kelamaan. Kata “pulang” berganti, menjadi “mampir”. Kaki gue udah gak gak berakar, dan kini bebas untuk menancapkannya di mana-mana. Langkah gue jadi ringan rasanya.

...

Gue mampir lagi di kota ini. Sepertinya, dalam waktu yang cukup lama. Ada acara keluarga, dan gue gak mungkin menolaknya.
Gue ketemu banyak temen lama. Wajah-wajah lama yang memiliki kenangan yang berbeda.
Hari ini, mantan vokalis band gue dulu. Yang selalu nemenin gue di masa-masa gue patah hati sebelum gue berangkat ke Vienna, minta ditemenin ngopi.
Sederhana sih permintaannya. Tapi entah kenapa, ada perasaan bahwa hari ini bakal ada sesuatu yang istimewa.

“Jadi minggu depan, Yo?”
“Yoi. Lo harus dateng.”
“Kenapa harus?”

Gue memasang wajah serius, menggodanya dalam hati. Dia menggelengkan kepalanya, mematikan rokok di tangannya, membuangnya ke asbak.
“Gue telepon juga ye nyokap lo biar baju-baju sama paspor lu dibuang.”
Gue tertawa mendengar responnya.
“Ya gapapa tanpa baju gue juga bisa pergi. Kan tinggal bawa diri sendiri.”
“Tanpa paspor?”
“Paspor gue selalu gue bawa ke manapun kali Yo.”
Dia mencondongkan tubuhnya ke arah gue, tiba-tiba dengan cepat mengambil tas gue.
“Weh bro udah gak ketemu berapa taun kita, lu jadi maling gini?”
“Maling waktu temen gue bentar.”
“Gak perlu maling, pasti gue kasih kok buat lo mah.”
Dia memberikan cengirannya. Menepuk pundak gue beberapa kali.
“Gue mau dateng dengan syarat lo ceritain kenapa lo bisa yakin untuk ngadain pernikahan ini. Dengan perempuan ini.”
Gue memberikan syaratnya secara tiba-tiba. Dia mengiyakannya begitu saja.
Keluarlah dari mulutnya dan hatinya, cerita mulai dari pertemuannya pertama kali dengan kekasihnya dan hingga hari di mana cincin itu dia kenakan di jari manis kekasihnya.

“Lo masih belum menjawab pertanyaan gue.”
“Lo gak ngedengerin gue ya daritadi?”
“Dengerin. Gue hanya ingin tau, kenapa lo yakin kalo dia orangnya? Kalo lo bisa tahan sama orang ini setiap hari. Sampai selamanya.”
“Selamanya? Hahahaha kita masih terlalu muda buat kenal kata selamanya.”
“Terus kenapa?”
“Gue juga gatau kenapa. Dalam hal-hal menyangkut perasaan, lo gak bisa cuma dengerin teorinya. Lo harus terjun langsung ngerasain.”
“... good luck deh.”
“Lo juga good luck lah.”

Kami pun tertawa entah untuk apa. Gue meneguk pelan kopi hitam dari meja, sedangkan Dyo mulai menyalakan rokok baru lagi.
Ada perasaan pahit yang tertinggal dari percakapan kami barusan. Lebih pahit dari kopi yang gue minum, lebih menyesakkan dari asap rokok yang Dyo hembuskan.

...

The bitter the better.
POV : Her
26 October 2014

Gue membuka pintu kafe. Aroma kopi langsung menyambut indra penciuman gue.
Tap tap tap.
Gue melangkah dengan mantap. Beberapa teman sesama pegawai menatap gue dan memberikan cengirannya, pasti soal kejadian kemarin.

“Kemaren kenapa pulang duluan?”
Temen gue, yang bertugas menjaga kasir menyambut kedatangan gue dengan pertanyaan menyebalkan.
Gue hanya mengangkat bahu. Karena gue yakin orang ini sebenarnya tahu hanya pura-pura tidak tahu.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundak gue.

“Yas? Tolong anterin ini ke meja di ujung sana dong? Gue mau ngangkat telepon bentar.”
“Oh okay.”

...

Black coffee. And a cheesecake.

Persis seperti menu favorit seseorang.
Gue berjalan menuju pengunjung kafe yang duduk di ujung ruangan, dekat dengan jendela. Dari jauh, terlihat jelas 2 orang laki-laki paruh baya. Yang satu mengisap rokok di bibirnya, yang satu mengaduk-ngaduk cangkir di meja.

Gue menyapa pelanggan dengan tagline kafe kami. Menaruh pesanan di meja. Setengah membungkuk mengucapkan terima kasih dan selamat menikmati.
Begitu gue berdiri tegak kembali, gue tidak sengaja bertatapan dengan mata pelanggan.
Tidak sengaja.

Pelanggan itu memberikan senyumannya yang manis, lalu mengambil secangkir kopi hitam yang tadi gue bawakan.
Ia membuang pandangannya ke jendela, dan mengobrol kembali dengan temannya seperti sebelum gue datang ke meja ini mengantarkan pesanannya. Seakan tidak ada apa-apa.

Ah. Ya.
Itu tidak apa-apa.

Gue melangkah menjauh dari meja itu. Memeluk baki di dada.
Ada suara gemuruh di sana. Ada gerimis yang siap tumpah dari mata.
Setelah menyaksikan senyumannya yang cerah, persis seperti ramalan cuaca hari ini.

Ah. I’m glad that he’s happy.

...

If you like your coffee hot
Let me be your coffee pot
You call the shots babe
I just wanna be yours


 


(Kisah lanjutan dari kisah sebelumnya : “Is This Love?”)



Tyas Hanina

Sabtu, 26 Juli 2014

Is This Love?

1 Juni 2011
POV : Her

“Apa pendapat lo tentang hujan?”
“Hah?”

Gue melepas kedua pasang earphone di telinga gue. Pria yang duduk di depan gue ini, emang punya kebiasaan menanyakan atau menyatakan sesuatu secara tiba-tiba. Gue gak selalu menanggapi omongannya. Ya mungkin karena gue emang orang yang menyebalkan. Tapi pria ini seakan selalu menyimpan kejutan di setiap ucapan dan perilakunya. Kejutannya memang tidak selalu menyebalkan sehingga gue malas menanggapi..
Hanya saja, seringkali kejutan-kejutannya membuat gue tidak tau harus menanggapi seperti apa.

Tapi, kali ini gue tertarik dengan apapun hal yang barusan dia utarakan. Karena ada satu kata di akhir kalimatnya, Hujan.

“Kita sampe telat pulang karena hujan.” Katanya sambil menunjuk hujan di luar jendela.
Gue melirik jam tangan. Betul juga, sudah cukup lama.
“Ya.. terus kenapa?”
“Ini maksudnya lo nanya kenapa gue nanya apa pendapat lo tentang hujan atau lo nanya kenapa gue ngomong kita telat gara-gara hujan?”
“Hah? Lo nanya pendapat gue tentang hujan?”
“Jahit aja udah itu earphone di kuping lo..”
Katanya dengan nada jutek, sok jutek lebih tepatnya. Karena selengkung senyum tetap saja tampak di wajahnya, meski gue yakin dia berusaha buat menyembunyikannya.
“Ya... buat permintaan maaf gue. Gue jawab deh pertanyaan lo. Lo mau dengerin gak nih?”
“Kuping gue selalu siap buat dengerin omongan lo kok.”
“Eek kuda.”
“Lembek dong.”

...

I find peace in the rain.”

Ada hening selama beberapa saat. Gue fikir dia akan memberikan suatu respon karena pria ini sangat responsif terhadap segala sesuatu, kebalikannya dari gue.
Gue meminum sisa kopi yang sudah dingin di atas meja, karena gue diamkan sejak tadi.

“..... udah?”
Satu kata itu keluar dari mulutnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah gue, alisnya tertaut, seakan tidak yakin atau heran.
Gue jadi ikutan heran kenapa dia bereaksi seperti itu.
“Hah? Ya..”

Dia menjentikkan jarinya ke jidat gue secara tiba-tiba.
“Apaan sih?!”
“Sakit emang?” Dia mengulurkan tangannya lagi. Gue mencoba menahan tangannya.
Dia meremas tangan gue pelan. Gue fikir dia akan tiba-tiba mengajak gue adu panco seperti sebelumnya. Atau akan keluar pertanyaan menyebalkan seperti “kok tangan lo kecil banget sih?”
Namun justru yang ia lakukan adalah membalikkan telapak tangan gue dengan mudahnya, sehingga berada di atas telapak tangannya. Lalu mengecupnya.

Sudah gue bilang kan sebelumnya kalau dia penuh kejutan?


...

5 juni 2011
POV : Him




Have you ever seen something so beautiful?
Pernah kan pasti.
Dan apakah lo tetap ngeliat hal yang lo sebut indah itu sebagai sesuatu yang indah, kalau dia jauh? Kalau dia tertutup oleh sesuatu? Kalau lo hanya melihat sebagian kecil darinya? Kalau wujudnya bahkan hanya ada di dalam pikiran lo?

Perempuan di depan gue ini sangat cantik.
Dia cantik. Gue gak bosen buat bilang hal itu ke dia setiap hari, meski mungkin dia sudah bosan mendengarnya.
Dia punya kecantikan yang tidak akan berubah meskipun ukuran kecantikan zaman berubah di setiap masa.

Dan, ya. Dia tetap cantik meski ia jauh sehingga tubuhnya yang kecil tampak lebih kecil lagi.
Meski wajah dan tubuhnya tertutup oleh sesuatu, seperti sekarang ini ketika buku di tangannya menutupi wajahnya.
Meski hanya jemarinya yang dapat gue lihat ketika ia menutup mata gue ketika kami menonton film dan ada kissing scene di sana.
Dan ya, tanpa harus gue pikirkan jawabannya. Dia tetap cantik di dalam pikiran gue.
Dan akan selalu begitu.

Hahaha, gue nulis apaan barusan. Itu termasuk surat cinta bukan?

Btw,
Aduh si neng, daritadi abang dicuekin. Untung abang bawa notes neng.

Gue berhenti menorehkan tinta di notes, ketika gue menyadari bahwa perempuan di depan gue ini bergerak.
Dia menaruh buku yang sedari tadi menutupi wajahnya ke meja. Dia menutup matanya, dan menaruh telapak tangannya di depan mulutnya.
Yak dia bersin.

“ALHAMDU?”
“Alhamdulillah.”
Katanya lirih. Lalu mengambil tisu di meja.

...

5 Juni 2011
POV : Her

“I wanna see myself from your point of view.”
Begitulah sebaris kalimat yang tertulis di secarik kertas yang gue temukan di lembaran majalah yang belum selesai gue baca.
Pelakunya?
Siapa lagi kalau bukan dia.

Entah kapan dia menaruh kertas tersebut, dan entah kenapa gue bisa tidak menyadarinya tadi.
Tadi, dia sibuk menulis di notesnya. Entah menulis apa, mungkin lirik lagu baru?
Entahlah, gue gak bener-bener tau karena gak bertanya padanya. Biasanya dia bercerita tentang apa yang selalu ia tulis, latar belakang lagu-lagu barunya. Tapi tadi gak, mungkin bukan lirik lagu yang ia tulis atau mungkin dia hanya ingin menyimpannya sendiri?
Tadi, gue juga sibuk membaca majalah. Dan sibuk bersin-bersin. Entah kenapa, mungkin karena sinar matahari pagi yang menyengat.
Dan dia terus menerus bertanya, memberikan perhatiannya.
“lagi baca artikel apa?” “selain majalah itu kamu suka majalah apa?” “kamu bersin-bersin mulu, ada alergi?” “biasain ya bawa sapu tangan, biar gak buang-buang tisu.”
Dan lain-lainnya.
Dan gue hanya menjawab sembari lalu, tidak menatap wajahnya. Meski gue menyadari sorot matanya yang seakan terus merekam segala aktivitas gue.

Gue...
Gimana ya gue harus menjelaskannya.
Gue ngerasa, gak tahan.

Dengan segala perhatiannya yang berlimpah. Dengan sorot matanya yang teduh.
Dan gue gak bisa membalasnya.
Seringnya, gue cuma bisa ngeluh di depan dia. Itupun selalu tanpa alasan yang jelas, dan dia lagi-lagi buat gue gak tahan. Dengan kesabarannya menghadapi gue.
Seringnya, gue bingung harus merespon omongan atau perlakuan dia ke gue.
Dan, kini gue lagi-lagi bingung harus bagaimana menjawab pertanyaannya...

Are you really wanna see yourself from my point of view?
Are you sure?

Gue mengambil jurnal pribadi gue dari laci meja. Merobek selembar kertas dari sana.
Ingin menjawab pertanyaannya, ingin membalas rasa penasarannya.
Seperti apa dia di mata gue.
Seperti apa kita yang gue rasa.

Kali ini gue gak akan menutupi apapun. Gue sudah gak tahan dengan diri gue sendiri.

Semoga gue tidak merobek hatinya.
Atau mungkin sudah?

...

6 July 2011
POV : Him

Tadi pagi, gue menumpahkan kopi di meja kerja gue.
Membuat notes berisi lirik lagu dan surat cinta yang kemaren gue tulis buat dia basah.
Tinta birunya membaur di kertas membuat kalimat yang gue tulis menjadi tidak terlalu jelas terbaca.
Ah, ya setidaknya aroma kopi tertinggal di sana. Haha.
Tapi, gak biasanya gue kaya gini.

Gue mungkin emang orang yang clumsy, dalam menjaga omongan gue.
Gue kadang gak tau kapan harus berhenti ngomong, juga kapan harus “berbohong”.
Tapi, dalam hal-hal seperti ini biasanya gue lebih berhati-hati.
Ah, apa mungkin pertanda?
Gue juga gak biasa-biasanya kepikiran ada pertanda di setiap kejadian kecil di hidup gue.

Dan, hal-hal gak biasa itu terus terjadi berturut-turut dalam satu hari.
Gue lupa ambil kembalian laundry. Gue jatohin sikat gigi ke kloset. Gue gak sengaja nginjek buntut kucing kosan.
Dan orang ini juga gak biasanya kaya gini.
Tiba-tiba mengirim pesan ke ponsel gue, mengajak untuk bertemu.

Ya tentu dengan senang hati gue mengiyakan ajakannya. Tapi dari kejadian beruntun tadi, gue jadi berhati-hati.
Apa mungkin gue melakukan suatu kesalahan padanya?
Entahlah, gue bertanya padanya di pesan tapi dia tidak menjawabnya.
Ya, dia sering gak menjawab pertanyaan gue. Itu merupakan hal yang biasa.

Ah, gue pikir juga gue bakal menemukan jawabannya di pertemuan kami nanti.

...

“Heiiii. Maaf udah bikin kamu nunggu.”
Sapa gue, menepuk pundaknya pelan. Ingin mengecup pipinya, namun gue tertegun melihat matanya.
Sembab. Ada jejak air mata di sana.
Dia gak perlu bilang, gue udah tau. Meski gue gak tau kenapa.

“Heeey. Gapapa biasanya aku yang bikin kamu nunggu. Duduk deh, aku mau ngomong sesuatu..”
Aku-mau-ngomong-sesuatu.
Shit. Lo tau gak sih, kalimat itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan di kepala dan banyak juga perasaan bersalah yang lo gatau sebabnya apa?
Gue menarik kursi di sebelahnya. Masih tidak bisa melepaskan pandangan gue darinya. Dia meraih teh hangat dari meja, gak biasanya dia memilih teh dibanding kopi. Lalu setelah seteguk air masuk ke kerongkongannya, dia membalas tatapan gue. Dan lagi-lagi itu gak biasanya terjadi, dia biasa menghindarinya.

“Kemarin kamu nulis apa di notes?”
“Ah, aku nulis lirik lagu baru.”
“Oh tentang apa?”
Gak biasanya dia nanya duluan kaya gini.
“Rahasia? Hahaha. Aku juga nulis hal lain sih.”
“Oh rahasia.”

Udah. Terus dia diem lagi.

“Aku kemarin nulis surat cinta buat kamu.”
Dia membuka mulutnya, seperti mau mengatakan sesuatu. Lalu dia telan kembali perkataannya.
“Mau baca? Tapi baru aja ketumpahan kopi tadi pagi.”
Dia hanya tersenyum. Seperti biasa, tidak menjawab.

“Aku juga nulis surat buat kamu.”
What the hell did i just hear?
“Kamu mau baca?”
Gue mengangguk dengan antusias. Dia tertawa melihat respon gue, tapi tawanya getir.

Dia membuka tasnya. Mengeluarkan sepucuk amplop dari sana.
Tangannya bergetar menyerahkan surat tersebut ke gue.
Hati gue ikut bergetar.
Gak biasanya kaya gini.

“Suratnya tentang apa?”
“Jawaban dari pertanyaan kamu kemarin.”
“Pertanyaan aku yang mana?”
“Yang gak bisa aku jawab secara langsung. Cuma bisa aku tulis di surat.”
“Terlalu banyak pertanyaan aku yang gak kamu jawab...”
“...... Maaf.”

Kini, gue kembali ngerasa bersalah.

“Aku bisa baca sekarang?”
Dia melemparkan pandangannya ke sembarang arah. Kembali, tidak menjawab.
“Aku anggep itu iya ya.”

Gue membuka amplop tersebut.
Membaca kata perkata.

Luka di hati gue menganga.

...

Kamu di mataku?
Hanya laki-laki biasa. Yang jatuh cinta pada wanita biasa sepertiku.
Kamu memperlakukanku secara tidak biasa. Seakan aku istimewa, padahal kenyataannya aku hanya manusia biasa.
Kata orang, jatuh cinta itu biasa aja. Tapi kurasakan perlakuanmu terlalu istimewa.

Aku seringkali menghindari tatapan matamu. Aku seringkali tidak menjawab pertanyaanmu.
Maafkan aku.
Bahkan mungkin di surat ini, lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.

Hari di mana kamu menyatakan perasaanmu, hari yang biasa saja. Namun begitu istimewa untukku.
Hari itu, sekali itu, aku merasa bahwa aku istimewa.
Dan aku merasa, aku jatuh cinta.

Aku benci harus menulis ini. Aku benci harus berbalik bertanya kepadamu. Ah, mungkin ini bukan pertanyaan.

But, what if...?
What if someday reality hits you really hard that you never love the one you’re with, you just think you did?
What if you think you’re in love but the truth is you just don’t wanna be alone?
What if the love you think you deserve is merely a companionship?
What if you keep the relationship just because people around you think you two are meant to be while you feel you don’t belong?
What if when you tried to walk away from the one you think you love but you couldn’t because he genuinely loves you?
What if?

Sayangnya, untukku. Itu bukan bayangan semata, bukan pertanyaan angan-angan biasa. Aku mengalaminya..
Aku kira aku jatuh cinta, namun kenyataannya tidak.
Aku kira dengan aku merasa aku istimewa di matamu, maka kamu pun akan begitu di mataku. Namun kenyataannya tidak.
Aku kira aku mempertahankan hubungan kita semata karena perasaanku. Ya, aku kesepian. Aku tidak ingin sendirian.
Aku kira kamu benar-benar mencintaiku, dan sepertinya itu benar.
Kamu mencintaiku, aku tau.
Aku benci diriku sendiri tidak bisa berbalik mencintaimu.

Maafkan aku.
Kamu di mataku tetap laki-laki biasa. Aku tidak memandangmu sebagai seorang teman, atau sahabat, atau kakak laki-laki.
Kamu kekasihku, selama ini. Tapi aku tidak mencintaimu.
Lalu apa arti kekasih? Aku tidak benar-benar tau.
Aku brengsek. Dan, kamu terlalu baik.

Mungkin setelah membaca ini semua. Kamu akan membenciku, atau tetap mencintaiku.
Keduanya, sama-sama bukan keinginanku.

Setelah surat ini selesai kamu baca, mungkin aku akan menyakitimu.
Dan akan selalu menyakitimu.
Atau mungkin sudah?

Maafkan aku.
Aku tidak bisa bertahan dengan diriku sendiri, bahkan aku bertanya-tanya apa yang aku pertahankan selama ini. Brengsek, aku tau.
Dan. Ya. Dari pandanganku, atau pandangan siapapun.
Orang sebaik kamu tidak boleh bertahan pada orang sepertiku.

...

What IF Love?
you think you’re in love but the truth is, you’re not.



Tyas Hanina