Pages

Minggu, 29 September 2013

There goes (another) lazy Sunday.

Gegoleran. Bangun pagi cuma buat nonton kartun (yang semakin lama semakin dikit karena tergantikan dengan aCaR4 mUs1k).
Sarapan sedikit, banyakin cemilan (gak inget berat badan).
Sepedahan dan skippingan cuma jadi rencana belaka.
Ngerjain PR cuma jadi keharusan semata (yang terus ditunda).
Susah move on cuma jadi beban di hati. (CUMA?!!)


Tapi, ada satu kegiatan yang baru saja gue lakuin di minggu ini- hari ini.
Gue buka PRIMBON, baca-baca ramalan di sana. Mulai dari ramalan hari lahir, sampe bentuk jari dan kuku.
Tapi, gue tetep gak percaya ramalan kok. Orang yang lahir hari Minggu dan punya kuku panjang gak gampang percayaan orangnya dan gak peduli gitu-gituan.

 
EMANG MASIH JAMAN BUKA PRIMBON?

Enggak. Gue sedang napak tilas.
Di saat belum era Twitter, IG dan Path. Tab website gue pasti FriendSter, Primbon, sama Games.co.id

Hm. Yang terakhir itu masih sering dibuka sih.
Meski anak SD jaman sekarang heboh main Pokopang atau Candy Crush, gue tetep suka buka games.co.id. Biasanya gue main yang Operasi-operasian (obsesi dokter bedah yang terpendam), atau ngedekorasi ruangan (another obsession).


Perbedaan gue jaman SD dan sekarang, ketika membuka Primbon adalah…
Gue yang lebih Lugu di masa lalu gak peduli sama ramalan-ramalan apalagi gosipnya Olla Ramlan.
Yang gue buka di Primbon itu Foto-foto dan Video hantu.
Pocong jumpalitan, kuntilanak cekikikan (sialan gue merinding ngebayanginnya), genderuwo wota (lah? Akun twitter?).
Meski mengakibatkan bulu kuduk meremang, dan parno  seharian. Gue gak ada kapok-kapoknya buka begituan.

Sama aje sih, kaya sekarang. Stalking mantan-gebetan-yang-jarang-update-social-media.
Kadang bikin hati gue lompat-lompatan, cekikikan sendirian, dan menghabiskan waktu bercengkrama di Twitter.
Sialnya emang, bikin hati gue meradang, dan nangis semalaman. Tapi, gue gak kapok-kapoknya kan?
Curiosity is my middle name.


Bukan anti mainstream. Istilah anti mainstream pun rasanya udah basi banget, kek ngebahas kebiasaan-kebiasaan kita sama mantan (gebetan).
Lagian, apa bedanya sih buka ramalan di Primbon sama KAMU-KAMU yang suka ngeRT ramalan bintang di Twitter?
Setidaknya, gue ngebaca ramalan itu diem-diem gak diumbar ke media sosial. (LAH INI APA)


Sabtu malam kemarin, gue nemenin nyokap belanja kebutuhan rumah. Biasanya sih gue rada ogah, mending gegoleran di kasur nonton Running man belasan episode daripada kaki pegel dan hati nahan kesel gara-gara nungguin doi belanja.

Tapi, karena gue calon penghuni surga jadi malam itu gue pun menemani beliau keluar rumah.

Karena, nyokap seringkali keluar rencana ketika berpergian. (Bilangnya belanja minyak sayur, pulang-pulang bawa baju-baju segerobak bajigur).

Sebelum berangkat, gue menunjukkan sisi keras kepala gue bahwa gue cuma mau belanja kebutuhan rumah tangga aja. Dan beliau pun menurutinya, meski disertai omelan-omelan pendek khasnya. (Gue pura-pura gak denger, dan kerasin volume radio mobil).

Baru awal belanja aja, beliau udah berjalan dengan anggunnya ke tumpukan..
Karena gue anak yang sangat pemalu, terlebih untuk memilih dan memilah underwear di tempat umum, jadi gue melipir ke tempat mainan. #JiwaAnakSD
Sampai gue selesai memilih seperangkat alat tulis spongebob dan kembali ke tempatnya.
Beliau masih belum menyelesaikan kegiatannya.

… sigh.

Lalu, beliau memberikan beberapa petuah bagaimana memilih underwear yang baik dan nyaman digunakan.
Bagaimana cara mencuci underwear yang benar.
Bagaimana jenis-jenis underwear yang lucu dipandang (EH, underwear kita kan gak bakal diliat orang lain?! #prinsip).
Bagaimana trik-trik khusus untuk stalking instagram orang dan gak kepencet like.


Begitu banyak wasiat yang beliau sampaikan, begitu banyak cara yang gue fikirkan supaya membuat dia cepat menentukan pilihan underwearnya.
 
...


Waktu di tempat kosmetik gue terdiam lama di antara barisan sabun muka.
Gue gak tau yang mana harus gue pilih, yang jelas dalam hal ini gue gak boleh sembarangan mencoba.
Gue pengen mengusir jerawat-jerawat yang bertamu di wajah.
Oh, how I miss my mulus face.

 
Nyokap juga sedang dilanda kebingungan yang sama. Bedanya, dia banyak bertanya ke mbak-mbak SPGnya.
Waktu gue selesai memilih sabun muka, dan menghampirinya.. Dia sedang bertanya ke mbak-mbaknya.
“Sabun  muka Tamara yang mana ya?” 

Mbak-mbak SPG mengerutkan alisnya, bibirnya terlihat bergetar tapi dia tetap coba mempertahankan senyum sopannya.
“Maksudnya, Bu?”
“Tamara…. Dek *menoleh ke gue*, ini sabun muka Tamara bukan?”

Karena gue udah terlatih menghadapi pertanyaan nyokap yang tidak bisa ditebak, meski gue bingung juga dengan siapa tamara dan apa sabun mukanya. Gue menunjukkan ekspresi muka kalem.
“Tamara siapa?” “… Tamara! Yang di iklan itu!”
Dia menyodorkan lagi sabun muka berwarna merah tua itu di hadapan muka gue. Tetep ngotot dengan pertanyaannya, dan tetap tidak memberikan spesifikasi tentang siapa Tamara.
Mbak-mbak SPG pun melipir pergi, dan datang mbak-mbak SPG baru lagi. Ya seperti ketika kita melepas kepergian seseorang, akan selalu ada orang lain yang datang. 
Mbak-mbak itu mengulum senyum, nyokap tetap menunggu jawaban gue.
Gue pun mengingat berbagai iklan produk muka. Tiba-tiba terlintas nama dan wajah seorang pria tampan yang gue temukan di Ask.Fm. Anaknya artis itu………

OHHH Tamara Bleszynsky !!!! 

Karena gue takut nyokap kesulitan mengulang nama tamara bleszynski kembali, gue pun tidak menyebutkannya.
“Iya kali yang itu.”
Merasa tidak puas dengan jawaban gue, beliau memalingkan muka dan bertanya ke mbak-mbak SPG yang masih tersenyum sejak awal kedatangannya.

 
Sabar ya, mbak ngeladenin pertanyaannya.
Bisik gue dalam hati untuk mbak-mbak SPG itu
Pasti tau kan ini iklan apa?
 


Makin lama, gue sadar. Semakin sedikit waktu yang gue habiskan bareng Nyokap- bareng keluarga. Meski tidak terbilang jarang, tapi rasanya gue lebih sering menghabiskan waktu bersama teman ataupun sendirian.

Bersyukurnya, gue bukan tipe orang yang senang hura-hura seharian. Gue lebih sering mendem diri di kamar.
Banyak anak remaja yang menghabiskan malam mereka bersama teman-teman, jauh dari orang tua, keluar dari rumah mereka.. Untuk kesenangan, yang gue nilai sementara.
Ya itu pilihan mereka, gue gak bermaksud menghakiminya.

Dan mungkin kebiasaan gue yang setiap malam berkutat dengan internet, mengonsumsi kopi dan tidur pagi. Juga sama tidak baiknya.
Kesehatan dan kecukupan waktu istirahat gue, juga merupakan hal yang penting bagi mereka- Orang Tua.

Meski kadang gue sering ngambul sama orang rumah, tapi gue sayang mereka. Rumah, bagi gue bukan hanya tentang suatu tempat, bukan hanya tentang suatu kediaman. Tapi, merekalah Rumah.
Tempat di mana gue selalu pulang, tempat di mana gue melepas lelah.

Bokap, dengan lantunan ayat suci yang rutin dia bacakan setiap harinya, memberikan wawasan baru dan memberikan gue ruang untuk melakukan hal yang gue suka. Beliaulah yang menularkan sikap tenangnya pada gue. (.... atau yang mereka sebut cuek).

Nyokap, dengan ocehan dan pertanyaan-pertanyaannya- gangguan yang selalu gue butuhkan. Suara tawanya yang khas, masakannya yang selalu terasa pas. Kelezatan hidup tiada tara yang gue syukuri setiap harinya.

Aa, jemarinya yang lincah memetik senar gitarnya- suaranya yang halus dan ringan. Gue yakin nyanyiannya bakal didenger banyak orang. Suaranya menciptakan rasa nyaman.
 

Ah, gue jadi pengen segera menyusun jadwal liburan bersama mereka.

...

8 hari yang lalu, coveran lagu Aa' sempat diputar di Radio :
Sedangkan, #CeritaDariKamar gue yang berjudul Potret Persahabatan akhirnya diputar di Prambors Jogja tanggal 18 lalu.

:')

...

PR akuntasi sudah lama menunggu giliran untuk dikerjakan. Jadi, udahan dulu yaaaa.
Jangan lupa untuk tidak terlalu percaya dengan Ramalan apalagi segala sepikan gebetan. Jangan lupa untuk menghabiskan waktu dengan keluarga. Jangan lupa dengerin atau streaming Prambors Jogja! :)
Jangan lupa untuk buka dan baca blognya Tyas Hanina :*


Tyas Hanina

Kamis, 26 September 2013

Menjadi satu-satunya manusia yang masih terjaga di dini hari sudah menjadi bagian dari rutinitasku.
Berteman akrab dengan koneksi internet yang lebih cepat dari siang hari, tenggelam dalam dunia maya yang tidak pernah sepi.
Mungkin, juga sama denganmu. Atau justru, kamu selalu menjadi yang paling dulu terlelap dalam tidurmu di antara penghuni rumahmu.
Entahlah, aku tidak lagi tau jadwal tidurmu.

Seringkali, aku merasa kesal terjaga sendirian. Tepatnya ketika aku merasa kelaparan, atau sekedar ingin menguyah cemilan.
Mungkin, kamu juga begitu. Atau justru, perut kenyangmu setelah makan malamlah yang mengantarkanmu cepat terlelap.
Ah, entahlah. Aku tidak tau lagi, pukul berapa kamu makan malam dan apa yang dihidangkan oleh Ibumu.

...

Aku menyelam pada banyak tempat di internet malam ini.
Kicauan orang-orang di Twitter, potret-potret di Instagram, kumpulan kata di Blog, dan senandung mereka di Soundcloud.
Juga, kumpulan pertanyaan beserta jawaban di Ask.fm.

Memperhatikan, lalu diam-diam merindukan...
Kamu, yang dulu berkicau tanpa henti di dekatku. Kamu, beserta ekspresi dan pose anehmu di kumpulan potretmu. Kamu, beserta perang kata kita dimalam di-mana-tidak-ada-lagi-kita. Kamu, beserta potongan lirik-lirik lagu yang membuat utuh memori tentangmu.
Dan, aku rindu sekali- ditanya olehmu.

Pertanyaan terakhirmu yang masih tersimpan di ponselku adalah, pertanyaan tentang rasa es krim yang kumau.
(Seandainya kata es krim itu dihilangkan, aku ingin rasa "utuh" (dalam kata lain : kamu).

...

Kamu tidak pernah benar-benar menghilang.
Hanya saja, kehadiranmu berkurang untukku.
Hanya saja, kini kita tak bisa lagi sering bertemu.
Hanya saja, kini kabar darimu merupakan hal yang mewah untukku.

Justru kadang, aku yang ingin menghilang.
Bersembunyi darimu, beserta kabar-kabarku. Beserta sapaku. Beserta hadirku.
Dan berharap, kamu menginginkan hal itu.
Setidaknya- menyadari bahwa hal-hal itu (dalam kata lain: aku) menghilang dari hidupmu.

...








Kenapa sih selalu, kamu?

Sabtu, 21 September 2013

The way you laugh


Pemilik tawa terindah nomor satu.
Tawa adalah hal yang sering kita bagi di setiap frekuensi pertemuan kita.
Berbagi tidak berarti mengurangi.

Dan setiap kali kita tertawa, bersama. Banyak hal yang justru bertambah.
Bahagiaku, juga bahagiamu. Lebar senyumku, dan lebar senyummu.
Hanyalah beberapa contoh dari banyak hal itu.

Kupu-kupu di dalam perutku bertambah liar menari.
Musik yang mereka gunakan untuk menari berdenyut cepat di dalam dadaku.
Dan tawamu..  Adalah pemicunya nomor satu.

...
Deretan gigi tak berpagarmu itu, membuatku ingin membentangkan pagar di sekelilingmu- sehingga tidak ada yang bisa menyaksikan dan menyimpannya selain aku.
Lesung pipit yang samar terlihat di pipi kirimu, membuatmu menjadi satu-satunya hal yang terlihat jelas di mataku.
Matamu yang melengkungkan senyum dan menatapku tanpa malu, adalah hal yang paling kutunggu lebih dari lengkungan pelangi di manapun itu.
...
Suara tawamu itu berisik.
Namun, setiap kali kamu tertawa. Aku membisikkan namamu berulang kali di dalam hatiku.
Tawamu begitu lepas.
Namun, setiap kali kamu tertawa. Aku semakin erat menggenggammu, tidak ingin membiarkanmu terbang lepas seperti balon berwarna hijau itu. 
Tawamu itu mengganggu.
Namun, setiap kali kamu tertawa. Aku tidak pernah memintamu menghentikan itu- karena aku tau aku butuh 'gangguanmu' itu. Lebih dari sekedar candu.

Tawamu lebih dari indah.
Namun, setiap kali kamu tertawa. Aku jatuh dan terluka, tapi itu luka paling indah.

... 
“Bisa gak ketawanya biasa aja?”

“Kenapa? Ketawa gue berisik ya?”
“Iya berisik.”
 “Hahaha. Maaf deh.”


Ah, kamu tertawa lagi.
Akupun jatuh lebih dalam lagi, lukaku terasa perih lagi- karena aku sadar indah tawamu tak bisa kumiliki.
Ah, kamu tidak perlu meminta maaf untuk itu.
Dan, terimakasih sudah bermurah hati. Membagi dan menularkan tawamu padaku- dan pada sekitarmu.
... 

They told me that to make him fall in love, I had to make him laugh.
But everytime he laughs, I’m the one who falls in love.



Tyas Hanina
(Penggemar Tawamu nomor satu.)


Selasa, 17 September 2013

Perempuan Usia Senja



Pukul 1 siang, adalah waktu istirahatku.
Selepas menunaikan ibadah shalat dzuhur, dan berdoa meminta kesehatan dan keberkahan untuk aku dan keluargaku.  Saat dimana aku berbaring di tempat tidurku, memejamkan mata, dan menonton tayangan ulang masa mudaku- yang bagaikan gulungan kaset film lama yang kutonton berulang-ulang.

“Kakak, mau foto pake toganya dong.”
Suara cempreng Cucu Bungsuku, menarikku kembali ke dunia nyata.
Aku pun duduk di tempat tidurku- mengambil kacamataku, menyingkirkan beberapa uban yang menempel di bantal. Lalu memperhatikan cucu-cucuku yang sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Si Bungsu, sibuk mengambil potret wajahnya sendiri mengenakan toga milik kakaknya- yang besok akan dikenakan untuk wisuda.
Si Sulung pun tak kalah sibuknya, jarinya dengan cepat memencet-mencet ponselnya- sesekali dia mengambil jeda sebentar, setelah ada bunyi di ponselnya dia melanjutkan kegiatan itu kembali.

Hal yang tidak aku mengerti dari mereka yang usianya masih terbilang belia. Aku sering sekali memperhatikan mereka ketika sibuk dengan sesuatu di ponselnya, terkadang mereka tertawa sendiri atau berkomentar tentang hal yang tidak aku mengerti.
Ah, sewaktu aku remaja dahulu- aku sibuk bermain dengan teman-temanku-  juga sibuk menghindari para lelaki yang sering menggodaiku di mana pun.

Sekali waktu, saat aku menemani Ibuku berbelanja di Pasar- aku diperebutkan oleh tukang daging dan tukang kelapa. Mengerikan sekali membayangkannya kembali, mereka gontok-gontokkan sembari memamerkan Pisau besar milik mereka yang sering diasah.

Dan sekarang, kecantikanku pun turun ke anak perempuanku satu-satunya- Ibu mereka berdua. Cucuku, Si Sulung dan Si Bungsu pun juga begitu, meskipun keduanya tidak memiliki hidung semancung aku, dan kulit selicin kulitku.
Namun, keduanya memiliki kecantikan yang alami, tidak perlu susuk ataupun operasi. Si Sulung dengan senyum mautnya, dan Si Bungsu dengan tawa pemikatnya.
Aku yakin, pasti banyak lelaki yang mengejar perhatian mereka berdua. Meskipun, si Sulung sering gonta-ganti pasangan (yang selalu dikenalkan kepadaku- psst aku suka dengan pacar pertamanya!). Dan si Bungsu yang seringkali terlihat tidak acuh ( dia belum pernah membawa lelaki untuk dikenalkan kepadaku.)
...

Aku mulai jemu, memperhatikan mereka berdua yang perhatiannya penuh ke ponselnya masing-masing. Aku berjalan ke arah jendela besar di kamar, menyibak gorden abu-abunya.
Kulihat di luar sana banyak orang asing berlalu lalang, aku sudah bertemu banyak orang asing di hidupku. Dan jarang sekali dari mereka ada yang benar-benar kuperhatikan.
Lewat kacamataku, aku memperhatikan mereka satu persatu meski tidak secara detail.
Ada Penjual Balon yang sedang melepaskan salah satu balonnya yang berwarna biru kepada seorang anak kecil.
Rombongan pelajar SMA, dengan rok pendek abu-abu dan seragam ketat menempel di badan. (Untungnya, cucu-cucuku tidak berpakaian seperti itu).
Gerobak Es Krim, Vermak Levis, Gerobak Bakso, Gerobak Sampah, dan lain-lain.
Jalanan begitu ramai siang ini, lalu hujan turun deras dan membubarkan mereka semua.
Genangan air kecokelatan mulai muncul di jalanan. (Hal yang sering membuat si Sulung memasang raut wajah kusut karena sepatu sekolahnya basah dan kotor).
Rombongan anak kecil yang berlarian- mandi hujan. Melompati genangan air dan meninggalkan noda di baju dan celana mereka. (Ah, kegiatan favorit si Bungsu sewaktu kecil. Dan malam harinya dia akan tidur di kamarku dengan kompres di keningnya).

Petir menggelenggar, dan kilatnya menyambar.
Aku refleks mundur ke belakang, memegang dadaku yang kini berdentum tak karuan.

...

Cucu Bungsuku lantas memopohku ke tempat tidurku. Sementara si Sulung, menutup jendela dan pergi ke dapur.
“Mamah, ngapain dari tadi bengong ngeliatin jendela?”
Ya, cucu-cucuku memanggilku dengan sebutan Mamah. Bukan Nenek, bukan Oma, bukan Nini, bukan Granny.
Mamah. Karena Ibu mereka, membiasakan mereka untuk memanggilku dengan sebutan itu sejak mereka masih kecil. Ah, aku tak keberatan dipanggil begitu.
Si Sulung datang, membawakan segelas teh manis hangat di nampan dan lengkungan senyum yang tak kalah manis di wajahnya.
“Tadi sih gak kamu ajak ngobrol dek.”
Si Bungsu memajukan bibirnya, seperti kebiasannya ketika ngambul. Dan aku tau, sedetik lagi dia akan..
“Kakak juga! Bukan aku doang!”
…. Protes.
Ya, dia memiliki watak paling keras kepala dibandingkan cucuku yang lainnya.


Si Sulung hanya mengulum senyum, dan membahas topik lainnya untuk mengembalikan mood adiknya.

“Gimana, blog kamu?”

Si Bungsu diam ditanya tiba-tiba begitu, dia mengumpulkan & menyusun kata untuk diceritakan. Aku pun ikut diam dan memperhatikan binar matanya yang kini lebih bersinar.
Aku tidak tau apa itu Blog sebelumnya, mereka yang menjelaskannya kepadaku. Sampai sekarang sebenarnya aku tidak terlalu mengerti, apa itu Blog- apa itu Internet. Kenapa Cucu Bungsuku menulis dan membagikannya di Blognya. Bahkan aku sebenarnya tidak tau, kenapa si Bungsu suka sekali menulis.
Meski yang kulihat dia bukan mencoret-coret buku tetapi memencet tombol-tombol di laptopnya.

“Ah. Itu….”
Ceritanya pun mengalir, lancar sekali tanpa hambatan yang berarti. Sesekali dia mengambil jeda, dan membelalakan matanya yang sipit ketika Kakaknya akan memotong ceritanya.
“Diem dulu.”
Kakaknya pun patuh kepadanya. Kadang aku fikir, Si Bungsu lebih tegas dan bisa mengatur suasana dibanding Kakak-Kakaknya.
Setelah selesai bercerita, si Sulung pun akhirnya bertanya.
“Kamu.. Kenapa sih pengen jadi penulis dek?”

Si Bungsu pun memasang cengiran khasnya, memamerkan dua gigi kelincinya. Dan, menjawab pertanyaan Kakaknya dengan satu tarikan nafas.
“Aku pernah tulis tentang itu di Blogku, kamu baca aja sendiri dan simpulkan.”
“Kamu, mau modus buat naikin traffic blog ya.”

Keduanya tertawa. Meski aku tidak mengerti sepenuhnya, aku ikut tertawa memamerkan barisan gigi palsuku.
... 
“Mamah, dulu waktu muda mau jadi apa?”
Tiba-tiba si Bungsu melemparkan pertanyaan itu. Keduanya kini, memperhatikanku.
Aku agak gelagapan menjawabnya. Aku mengingat-ngingat pekerjaan apa yang kuinginkan, apa tujuan yang dulu ingin aku capai.

Lalu, aku sadar.
Aku sudah lama melupakan pertanyaan itu.
Aku sudah lama, bahkan mungkin tidak tau jawabannya- sebenarnya aku ingin jadi apa.
Saat belia dulu, hingga sekarang memiliki cucu.
...

Beberapa menit berlalu, mereka masih menunggu.
Si Bungsu menatap lekat kedua bola mataku, kebiasaannya ketika mendengarkan cerita siapapun.
Si Sulung mengulum senyum sembari memperhatikan sekeliling ruangan.
Aku, ikut-ikutan melirik ke pojok ruangan. Berharap ada jawabannya di sana.

“Jadi..”
Meski tidak benar-benar tertuliskan di pojok ruangan- mulutku tiba-tiba mengeluarkan jawaban yang entah aku dapat dari mana.

“Ibu Rumah Tangga.”

Keduanya terdiam seperti memikirkan ucapanku, jawabanku akan cita-citaku. Aku ikut terdiam, dan memasang selengkung senyum.

“Kenapa?”

Lagi, Si Bungsu bertanya.
Kali ini, aku tidak melirik pojok ruangan untuk mencari jawaban.
Aku memperhatikan wajah mereka bergantian. Mengingat ketika usiaku sama dengan mereka.

Aku menikah di usia muda. Dengan seorang laki-laki yang berhasil merebut perhatianku- dan orang tuaku.
Dia tidak menggodaiku seperti laki-laki lainnya, dia mendekatiku dengan caranya. Begitu pelan namun mengesankan, membuatku tiba-tiba sudah jatuh- kepadanya.
Tibalah hari di mana, dia  melamarku. Orang tuanya datang ke rumah, membawakan roti buaya, lempar-lemparan pantun, petasan yang dibunyikan meriah di depan rumah.
Janji suci pernikahan, mentandatangani surat nikah dan jadilah kami Halal untuk satu sama lain.
Hari di mana aku merasa sebagai perempuan paling beruntung di dunia.

Setelah itu, aku memiliki keinginan seperti layaknya wanita pada umumnya. Berumah tangga dan berkeluarga dengan bahagia dengannya, menjadi seorang Istri dan seorang Ibu yang terbaik untuk mereka.
Itulah, mungkin cita-citaku. Cita-cita yang kuminta dan kuamini setiap harinya.

... 

“Menjadi seorang Ibu Rumah Tangga, mengurus suami dan anak-anak. Menghabiskan jatah usia hidup berbahagia dengan mereka. Memasak setiap hari untuk mereka, membereskan rumah yang ditempati mereka, beribadah dan berdoa bersama. Memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di diri mereka setiap harinya. Menyadari bahwa anak-anak bertambah dewasa, dan berdua bersama Ayah hidup bersama hingga renta- meskipun kini kami berbeda dunia….”

Aku mengambil nafas, tidak menyangka akan mengeluarkan sebanyak itu rentetan kata.

“Mamah tetap cinta Ayah. Itulah cita-cita Mamah.”

Keduanya diam dan tersenyum, si Sulung menghapus air di sudut matanya- bibirnya bergetar.
Sedangkan si Bungsu tersenyum lebar, dan berkata..

“Aku juga ingin jadi seperti Mamah.”

Aku mengusap pelan rambut si Bungsu. Tidak, dia tidak boleh sepertiku. Aku malu, mereka memiliki cita-cita yang jelas meski usianya masih terbilang muda, sedangkan aku di usia mereka- harus mengikuti kemauan orang tua untuk menikah dan setelah itu menjadi Ibu Rumah Tangga.
Aku bahkan, tidak pernah duduk di bangku sekolah- seperti mereka.
“Kalian.. Sekolah yang bener. Adek jangan lupa bagi waktu antara belajar sama main laptop, Kakak juga setelah wisuda besok harus tetep belajar…”
“Kalian bagus punya cita-cita, tapi jangan lupa do’anya dibarengin sama langkah. Yakin kalian bisa.. Kalau udah sukses, udah jadi orang gede nanti. Jangan pernah lupa sama orangtua, jangan lupa kodrat kalian sebagai wanita… Punya tanggung jawab sebagai Istri, sebagai seorang Ibu.
Pekerjaan paling mulia di dunia.”

Tubuhku pun lalu dipeluk mereka berdua, cucu-cucuku tercinta.
Air mataku pun jatuh layaknya hujan di luar jendela.


Tyas Hanina

Minggu, 15 September 2013

I want to hold your hand



Dear.

Ini bukanlah kali pertama kita bepergian bersama. Bukan kali pertama aku mengajakmu kencan.
Namun, rasa canggung tetaplah datang- aku tidak kuasa mengusirnya.
Aku bingung memilih baju apa yang harus kukenakan, aku tidak ingin terlihat tidak pantas bersanding denganmu.
Akhirnya, aku memilih setelan kemeja putih dengan celana pendek kotak-kotak, beserta sepatu putih kesayanganku dengan kaus kaki hitam yang biasa membungkus kakiku. Matahari yang terik, membuatku mengambil topi fedora putih yang kau pilih di pasar malam waktu itu.


“Aku belum pernah melihatmu mengenakan topi.”
Sebelum aku sempat membuka mulut untuk bertanya, kau dengan cepat menjawab.
“Tidak. Kau tidak akan terlihat aneh mengenakan itu.”
Ah, aku tidak pernah bisa menolakmu. Jadi, dengan  harapan kamu akan lebih menyukaiku- akupun membeli topi itu.


Tadi pagi, saat kamu membuka pintu depan rumahmu untuk menyambutku. Lengkungan senyum yang selalu kau lukiskan di wajahmu, kini bertambah lebar ketika kau melihat aku mengenakan topi itu.
Tanpa mengatakan apa-apa, akhirnya kau pun menggandeng tanganku untuk pergi dari situ.



Honey.
Ini kesembilan kalinya kita bepergian bersama. Kelima kalinya kamu mengajakku kencan.
Dan, banyak hal yang tidak berubah darimu. Dari kebiasaan-kebiasaan kencan bersamamu.
Kamu, bukanlah lelaki pertama yang mengajakku kencan.
Sedangkan, aku tau sekali bahwa aku adalah perempuan pertama yang berkencan denganmu.

Sebagai perempuanmu, aku bangga akan hal itu. Aku merasa sebagai pengecualian, sebagai perempuan yang akhirnya membuatmu memberanikan diri untuk kau ajak kencan.
Meskipun rasa canggung seringkali kuhirup bersama udara ketika ku berada di sekelilingmu. Meski seringkali ku lihat tanganmu bergetar, ketika telapak tangan kita berdekatan. Meski terlihat sekali, kamu sengaja berdandan lebih rapi ketika berkencan denganku.

Kamu, tidak pernah membuatku merasa bosan.

Meskipun di kencan-kencanku sebelumnya bersama laki-laki lain tidak pernah sedikitpun tercium aroma canggung. Meskipun mereka menyentuh kulitku, menggenggam tanganku tanpa rasa ragu. Meskipun, mereka selalu memuji dandananku kencanku yang rapi- tidak seperti kamu yang hanya tersenyum malu-malu sembari menatap aku.

Ah, kamu punya hal yang tidak mereka punya.
Kencan-kencan seharian denganmu selalu terasa mengesankan- lebih dari menyenangkan.

Seperti kencan hari ini,  kita berjalan ringan di taman.
Sesekali ku lihat kamu memicingkan mata, karena matahari yang cukup terik. Untungnya, kamu mengenakan topi itu.
Aku suka sekali melihatmu mengenakan topi fedora itu, meskipun dengan begitu aku tidak bisa menyentuh jambulmu yang tersembul.


Namun, ada yang selalu aku pertanyakan. Mengapa kamu tidak pernah menggenggam tanganku?




Dear.

Kamu, menciptakan banyak getaran di tubuhku. Di hatiku.

Setiap kali aku melihat penampilanmu, yang selalu bertambah cantik setiap harinya.
Lidahku selalu bergetar, ingin memuji penampilanmu. Namun, aku memilih untuk melengkungkan senyum sembari terus memperhatikanmu.


Setiap kali kulit kita bersentuhan, rasanya seakan disetrum. Penuh kejutan, dan mengesankan- lebih dari sekedar menenangkan.
Setiap kali kamu menyenderkan kepalamu di bahuku, meski tanganku bergetar akhirnya di kencan ketiga kita aku berani membelai halus rambut sebahumu.
Dan, aku suka setiap kali kamu menggandeng tanganku secara tiba-tiba dan memamerkan deretan gigi tanpa pagarmu itu.

Namun, aku tak pernah cukup berani menggenggam tanganmu duluan.
Aku takut, kamu akan menolaknya. Dan, aku akan menelan rasa maluku sendiri.
Dan, aku takut kamu akan melepaskannya.

Untungnya, isi kepalaku sepertinya seringkali terbaca olehmu.
Kamu menggenggam tanganku terlebih dulu, juga meminta izin ketika akan melepasnya 

Ya, aku memang bukan lelaki yang pemberani.
Namun, kamu adalah perempuanku- yang membuatku merasa menjadi laki-laki paling berani di dunia.
Meskipun tidak terlibat duel dengan lelaki bertubuh kekar, dengan otot-otot yang besar.
Meskipun tidak terlibat adegan penuh pertumpahan darah dengan preman kelas dunia.
Meskipun tidak sedang menyelamatkan nyawa seseorang.

Kamu, adalah perempuanku- perempuan pertama yang kunyatakan cinta. Perempuan pertama yang kukenalkan ke Ibu. Perempuan pertama yang memaklumi sifat pemaluku. Peremuan pertama yang kuajak kencan.
Siang tadi, aku ingin menantang kembali nyaliku.
Aku ingin menggenggam tanganmu, meeratkan pelukan di antara jemari kita.

Saat aku mendekatkan tanganku ke arah tanganmu.
Tiba-tiba suara kamera terdengar di belakang. Saat aku menoleh ke belakang, ada seorang remaja putri sedang mengambil potret kita berdua. Pandangan kami sempat bertemu, dan dia hanya diam.
Dari pandangannya, dia menungguku menggenggam erat tanganmu.
Aku reflek membatalkan niatan tersebut, dan bergeser sedikit darimu.

Uh. Dasar pengganggu. 




Atmosfir yang tercipta di antara mereka begitu manis dan nyaman.
Obrolan ringan dan lirikan-lirikan yang saling dilemparkan.
Berjalan beriringan tanpa saling berpegang tangan.

Tebakku, mereka adalah pasangan baru. Yang mungkin, belum genap 10 kali berkencan.
Lelaki ini begitu payah, sesekali tangannya bergetar bergerak mendekati tangan perempuan itu.

Aku terus berjalan di belakang mereka, sambil memegangi kamera yang terkalung di leherku.
Hingga akhirnya jari mereka pun hampir berdekatan- aku pun mengambil foto untuk mengabadikan momen (yang mungkin langka) itu.

Ternyata, suara kameraku menghentikan gerakan lelaki itu.
Dia memandangiku sekali. Setelah itu, membatalkan misinya dan bergeser sedikit dari perempuan itu.

Uh. Dasar payah.
Tyas Hanina

Sabtu, 14 September 2013

The sign on your back.



Kamu terus memunggungiku. Aku tetap menengok ke arahmu.

...
As I walk to the end of the line
I wonder if I should look back
To all of the things that were said and done
I think we should talk it over

3 hari lagi kita akan bertemu kembali di acara Reuni Akbar pertama kita.
Aku tau, kamu tidak perlu diingatkan akan hal itu. Karena kamu masuk dalam jajaran pengurusnya.
Seharusnya aku juga begitu, sayangnya hingga siang ini- aku masih tertahan di Kota Pelajar ini. Padahal, aku ingin sekali kembali bekerja sama denganmu- mengurus suatu acara dan merayakan keberhasilan acara kita tersebut.
Seperti 3 tahun di Sekolah Menengah Atas kita dahulu.

Bagaimana persiapannya?
Uhm sebenarnya.. Saat ini aku tidak terlalu mengkhawatirkan acara itu, hanya saja aku khawatir akan kesehatanmu. Jangan sampai kamu tidak menjaga waktu tidurmu, dan membiarkan sembarang makanan masuk ke dalam pencernaanmu.

Aku juga takut, kamu kembali membakar puntung-puntung rokok itu. Yang katamu, dapat membuatmu fikiranmu segar kembali- tapi nyatanya justru membuat sesak paru-parumu.

Ya, aku tau kamu pasti mulai merasa jemu.
Jika lagi-lagi kamu merasa aku terlalu mengkhawatirkanmu, dan kembali mengingat kamu terlalu jauh. Kamu juga pasti akan bersikeras kepadaku, melarangku untuk menyimpan harapan yang tidak pasti padamu.
Bahkan, sekali waktu kamu pernah memaksaku untuk jatuh kepada selainmu.

...

Then I noticed the sign on your back
It boldly says try to walk away
I go on pretending I’ll be ok
This morning it hits me hard that

Kamu, juga pasti tau bagaimana watakku.
Aku akan bersikeras melakukan apa yang ingin aku lakukan, mempertahankan apa yang aku rasa pantas untuk dipertahankan, berjuang meski hal itu mungkin tidak akan aku dapatkan.
Dan, selama bertahun-tahun. Hal itu adalah kamu.
Aku tetap memandangimu, meski pun kini yang kamu tampakkan hanyalah punggungmu.
Aku terus berjalan, tapi arah pandanganku tetaplah menujumu. Rasa pegal di leherku karena terlalu sering menengok ke arahmu, seringkali aku abaikan.
Begitu juga, dengan isyarat yang terlukis di punggungmu.
Bagaimana kamu yang terus memunggungiku namun aku yang tetap menengok ke arahmu.
Bagaimana kamu tidak pernah menengok ke arahku, karena kamu ingin aku pergi darimu.

Karena kamu ingin aku.. Melakukan apa yang seharusnya sejak dulu aku lakukan. Meninggalkan apa yang seharusnya sudah lama aku tinggalkan. Menerima, bahwa kita tidak lagi sama.
 ...
Still everyday I think about you
I know for a fact that’s not your problem
But if you change your mind you’ll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse
Aku tau, itu bukan menjadi bagian dari masalahmu.
Fakta bahwa selama ini aku terus menunggu.
Meski aku sadar sesekali kamu menebalkan isyarat di punggungmu itu agar jelas aku baca.
Bahwa kamu tidak ingin melukaiku.

... 


As I stare at the wall in this room
The cracks they resemble your shadow
When everyday I see time goes by
In my head everything stood still

Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan.
Begitu pula tentang perasaan.
Dan ingatan.
Juga kenangan.

...

I’m waiting for things to unfreeze
Till you release me from the ice block
It’s been floating for ages washed up by the sea
And it’s drowning, thought you should know that

Aku pernah  mencoba menghilangkan mereka.
Menenggelamkan mereka dalam-dalam. Namun, mereka kembali muncul ke permukaan.

Padahal, muatan mereka begitu besar- beban yang mereka tinggalkan begitu berat.
...

You see people are trying
To find their way back home
So I’ll find my way to you 

Karena itu aku berhenti melakukannya, tempat mereka memang bukan disana.
Percuma, aku mencoba membuang mereka- memaksa mereka menetap di sana.

Suatu tempat di otakku dan hatiku.
Adalah tempat mereka pulang. Tempat itu selalu sama- tidak pernah berganti. Di sana lah tempat mereka selalu kembali.

Dan, kamu.
Adalah tempat dimana rinduku selalu pulang, tempat aku didekap erat rasa aman dan nyaman.
Tempat di mana aku menjadi diriku. Tempat di mana aku utuh.

...

Kita tidak bisa, mengecohkan jalan pulang seseorang.

Besok malam, aku akan meniti kembali jalan pulangku. Menghabiskan waktu seharian penuh duduk di bangku kereta.
Kembali ke Kota, di mana kamu berada.

Akhirnya aku dapat secara langsung.. Menyapamu, menepuk punggungmu.
Membuatmu, akhirnya menengok ke arahku. Berhenti memunggungiku.

 Kamu. Aku akan pulang.


Tyas Hanina

Jumat, 13 September 2013

My Mirror, My Opposite.

(Tentang #PeopleAroundUs.)

...


"A sister is both your mirror - and your opposite."
- Elizabeth Fishel -
 

Seorang Kakak Perempuan dengan perbedaan usia yang lumayan jauh.
7 tahun. Selisih 1 tahun dari sewindu.

Jika bertemu langsung dengan kami berdua, mungkin tidak akan kentara perbedaan usianya. Karena bentuk dan ukuran tubuh yang hampir sama, juga wajah (yang katanya) begitu serupa. Hanya saja kini dia lebih bisa merawat diri dan mengenakan make up di wajahnya.

Kesan yang kalian tangkap ketika pertama kali bertemu pun akan begitu berbeda.
Ibarat kulkas, saya adalah bagian dalam kulkas yang dingin dan terkadang membekukan suasana.
Sedangkan, dia adalah bagian belakang kulkas yang hangat..

Ketika kami hanya berdua, biasanya dia akan mulai bercerita. Tentang apa saja.
Bahkan, dia rela 3 buah buku hariannya sejak SD hingga SMA saya baca semua dan kini saya simpan di kamar tidur saya.

Menari, adalah salah satu hobbynya. Senam merupakan olahraga kesukaannya. Lagu Up Beat yang penuh semangat adalah jenis musik yang biasa ada di playlistnya.
Ketika melakukan sesuatu, dia selalu ingin cepat, cepat dan cepat.
Tipikal orang yang terbiasa multitasking, dan dia tidak segan mencoba berbagai macam kegiatan mekipun hal itu terasa asing baginya.

Dalam hal percintaan… Tidak perlu sebut jumlah mantan kekasihnya, pokonya jumlahnya 4 kali dari saya.
Dia bisa dibilang mudah menerima, mudah jatuh cinta. Namun, ketika memulai suatu hubungan.. dia setia dan hubungannya cenderung lama. 

Cara makan, cara mengontrol emosi, ekspresi wajah di foto, warna baju yang biasa dikenakan dan lain-lainnya pun berbeda.
 
Sampai sini saja, sudah jelas bukan begitu banyak perbedaan di antara kami berdua?

...

Waktu saya kecil, dia pernah berterus terang kepada saya. Bahwa, dia iri dengan saya.
Katanya, dia merasa saya lebih cantik darinya. Dan, juga lebih cerdas darinya.
Saya menulis ini bukan dengan tujuan memuji diri sendiri, saya menulis dengan apa adanya berdasarkan ingatan saya tentang ucapannya  pada malam itu.
Saya yang waktu itu masih terlalu lugu, hanya bisa mingkem dan menampilkan ekspresi wajah datar saya. Ketika saya mengingatnya sekarang, ucapannya itu malah terasa lucu.

Karena rasanya begitu timpang dengan keadaan sekarang.

Kadang.. saya iri bagaimana dia begitu pandai merawat diri, begitu mudah memulai hubungan dengan orang lain, dan bagaimana dia tidak kesulitan menghadapi perubahan.
 
Meski saya tidak pernah memujinya secara langsung, saya merasa secara fisik pun dia terlihat lebih cantik dan menarik dibanding saya. Makanya, kalau ada orang berkomentar bahwa kami terlihat begitu serupa- saya jatuhnya malah ke minder daripada geer.

Udah ah jangan panjang-panjang mujinya, anaknya kadang besar kepala.
 


Pasti, (diam-diam)lagi-lagi dia iri dengan saya. Karena saya berada di Rumah, sedangkan dia jauh.
Saya yang setiap hari makan masakan Ibu yang luar biasa enaknya. Bisa sholat berjamaah bersama keluarga. Menemani Nenek yang sedang sakit. Menemani Bapak, berdiskusi berbagai hal secara langsung dengannya. Menghabiskan waktu bersama Ibu, setiap hari menghadapi tingkah dan perkataannya yang lucu.
Menemani, mencium tangan mereka setiap pagi. Memperhatikan pertambahan usia mereka setiap harinya.

Saat ini, dia berada di Pulau yang berbeda dengan saya. Pulau besar nan jauh di sana.
Dia tergolong anak baru di perusahaannya, tapi sudah bisa diduga kalau dia tidak kesulitan berbaur dengan keadaan di sana- meski saya sangat yakin dia sering homesick.

Jarak kami akan bertambah jauh, dan kami pun mungkin akan semakin jarang bertemu ketika saya lulus SMA dan kuliah di luar kota.
Apalagi, kalau dia jadi menikah di usia muda. (Cie)

...

Ah. Nyamuk semakin agresif menggiti betis saya, saya pun harus menghentikan gerak tarian jari saya.

Selamat malam Kakak.
Kabar terbaru hari ini, Ibu masak Sayur Lodeh dan Bapak pasang WiFi di rumah.
Bagaimana dengan makan malammu? Dan apakah kamu menghabiskan banyak waktu di Internet untuk mencari kabar rumah?




Tyas Hanina